JAKARTA, iNews.id - Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengharapkan agar fasilitas generalized system of preference (GSP) yang diberikan oleh pemerintah Amerika Serikat (AS) kepada Indonesia tidak dicabut.
"Presiden menyampaikan harapan indonesia agar fasilitas GSP tetap akan diberikan kepada Indonesia karena kalau dilihat dari barang-barang di GSP, 53 persen adalah barang-barang yang diekspor oleh AS, terkait proses produksi yang diperlukan AS," kata Menteri Luar Negeri Retno Marsudi di kawasan istana kepresidenan Jakarta, Minggu (5/8/2018).
Pada hari ini Jokowi bertemu dengan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Michael Richard Pompeo di Istana Merdeka. Pertemuan itu didampingi oleh Menlu Retno Marsudi, Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukito, Menteri Sekretaris Negara Pratikno, Dubes Indonesia untuk Amerika Serikat Budi Bowoleksono dan pejabat terkait lainnya.
GSP merupakan kebijakan AS berupa pembebasan tarif bea masuk (nol persen) terhadap impor barang-barang tertentu dari negara-negara berkembang. Presiden AS Donald Trump pada April 2018 tengah mengkaji kebijakan GSP untuk Indonesia dan India, karena dinilai menyebabkan defisit neraca perdagangan AS. Program tersebut berlangsung sejak 1976, dan sempat terhenti pada 2013, namun diberlakukan lagi pada Juni 2015.
"Kita ingatkan GSP bukan hanya dinikmati Indonesia tapi juga kedua belah pihak, bahwa produk yang kita impor dari AS selain kita perlukan juga selanjutkan kita ekspor kembali, demikian juga dari AS, jadi sifatnya kompelementer," kata Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukito.
Enggartiasto pada 21-28 Juli 2018 melakukan kunjungan kerja ke AS, termasuk menemui Duta Besar United States Trade Representatives (USTR) untuk membahas tinjauan negara tersebut terhadap negara-negara penerima GSP. Pada 2017, produk Indonesia yang menggunakan skema GSP l bernilai 1,9 miliar dolar AS. Angka tersebut masih jauh di bawah negara-negara penerima GSP lainnya seperti India sebesar 5,6 miliar dolar AS, Thailand 4,2 miliar dolar AS, dan Brasil 2,5 miliar dolar AS.
Namun keputusan apakah GSP tetap diberikan atau dicabut, menurut Enggar kembali lagi kepada kebijakan pemerintah AS. "Kita sekali lagi tidak mau meminta tetapi kita tunjukkan pada mereka bahwa kita juga concern dengan trade defisit mereka lebih dari 700 miliar dolar AS. GSP ini begini yang menguntungkan kedua belah pihak, private sector juga kita dorong untuk membantu memproses itu, kalau kita sepakat (nilai perdagangan) mau naik, GSP itu akan sangat membantu," ujar Enggar.