MINNEAPOLIS, iNews.id – George Floyd, pria berkulit hitam yang tewas di tangan polisi berkulit putih di Kota Minneapolis, Negara Bagian Minnesota, AS, Senin (25/5/2020) lalu, dilaporkan positif mengidap virus corona (Covid-19). Lelaki itu menjalani tes virus tersebut berminggu-minggu sebelum kematiannya, menurut laporan hasil autopsi yang dirilis pada Rabu (3/6/2020).
Dilansir NBC, dokumen setebal 20 halaman yang dirilis oleh Kantor Pemeriksa Medis Daerah Hennepin, Minnesota, menyebutkan, tes yang dilakukan terhadap Floyd pada 3 April 2020 menunjukkan hasil positif untuk RNA atau kode genetik virus corona.
Hasil autopsi juga mengatakan, RNA itu dapat tetap berada dalam tubuh seseorang selama berminggu-minggu setelah penyakitnya hilang. Karenanya, hasil tes positif kedua setelah kematiannya kemungkinan berarti bahwa Floyd tidak menunjukkan gejala dari infeksi sebelumnya ketika dia meninggal pada 25 Mei lalu.
Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit AS (CDC) mengatakan, tes RNA positif tidak selalu berarti virus itu menular. Namun, masih belum jelas apakah Floyd pernah mengalami gejala sebelumnya atau hanya berstatus carrier (pembawa virus) yang tidak menunjukkan gejala—yang di Indonesia disebut sebagai OTG (orang tanpa gejala).
Kantor Pemeriksa Medis Daerah Hennepin juga mengatakan pada awal pekan ini bahwa kematian Floyd adalah pembunuhan yang terjadi ketika dia ditahan oleh polisi. Penyebab kematiannya dinyatakan sebagai tekanan atau cekikan pada leher.
Floyd tewas setelah seorang polisi (yang kemudian diketahui sebagai Derek Chauvin) menindih lehernya dengan lutut selama sekitar 9 menit. Kematian pria malang itu direkam dalam sebuah video dan menjadi viral.
Dari situ, kemudian muncullah gelombang protes besar-besaran di seantero AS. Para pengunjuk rasa menentang perlakuan rasial aparat kepolisian yang sudah berlangsung lama di negara itu.