WASHINGTON, iNews.id – Pemimpin pasukan Amerika Serikat (AS) di Afghanistan Jenderal John Nicholson menuding Rusia mendukung bahkan mempersenjatai Taliban. Hal itu disampaikan Nicholson dalam wawancara dengan BBC, yang dirilis Jumat (23/3/2018).
Laporan yang diterima AS, kata Nicholson, senjata-senjata Rusia itu diselundupkan melalui perbatasan Tajikistan lalu dikirim ke Taliban. Namun dia tak mengetahui jumlah pasti senjata yang dikirim.
“Kami melihat narasi yang digunakan sangat melebih-lebihkan mengenai jumlah pejuang ISIS. Narasi ini kemudian digunakan sebagai pembenaran bagi Rusia untuk melegalkan tindakan terhadap Taliban dan memberikan dukungan,” kata Nicholson.
Dia mengaku mendapatkan dokumen Taliban yang juga telah dirilis media mengenai bantuan keuangan.
“Kami membawa senjata ke markas dan diberikan oleh para pemimpin Afghanistan. Mereka mengatakan, ini diberikan oleh Rusia untuk Taliban. Kami tahu bahwa orang-orang Rusia terlibat,” ujarnya.
Nicholson menyebut bahwa dukungan Rusia ke Taliban terbilang baru. Dia pun menjelaskan bagaimana pola pemberian senjata itu ke Taliban. Awalnya, Rusia menggelar latihan antiteroris di perbatasan Tajikistan.
Militer Negeri Beruang Merah itu membawa pesenjataan dalam jumlah besar. Namun ketika latihan selesai, tidak semua persenjatan dikembalikan ke markas, melainkan sengaja ditinggalkan.
Senjata-senjata itulah yang kemudian diselundupkan ke Afghanistan.
“Kami melihat pola Rusia sebelumnya, mereka membawa peralatan dalam jumlah besar dan kemudian meninggalkan sebagiannya,” ujarnya, menjelaskan.
Namun Nicholson mengakui tak punya data mengenai senjata jenis apa saja yang diselundupkan. Berdasarkan data dari para perwira senior kepolisian Afghanistan serta tokoh militer, perlengkapan yang dimiliki Taliban antara lain kacamata night vision, senapan mesin sedang dan berat, serta senjata kecil.
Sumber-sumber di pemerintahan menyatakan, senjata-senjata ini kemungkinan digunakan melawan pasukan Afghanistan dan para penasihat NATO.
Pernyataan Nicholson ini mengandung pertanyaan besar, pasalnya Taliban pernah punya sejarah kelam dengan bekas negara Uni Soviet itu. Pada 1979, Soviet berperang dengan mujahidin Afghanistan yang didukung AS.
Sebagian para mujahidin itu lalu masuk ke Taliban (tentara pelajar) saat terjadi perang sipil di Afghanistan.
Namun pengamat Afghanistan, Kate Clarke, menganggap sangat mungkin adanya alinasi Taliban-Rusia, meski kedua pihak punya sejarah kelam.
“Mungkin sekarang kepentingan Rusia dan Taliban menjadi lebih dekat,” katanya, berspekulasi.
Rusia menepis memberikan senjata atau dana kepada Taliban, namun mengakui melakukan pembicaraan dengan kelompok militan itu.