JENEWA, iNews.id – Badan PBB untuk pengungsi, UNHCR, mendesak agar rencana pemulangan sekitar 1 juta pengungsi Muslim Rohingya dari Bangladesh ke Myanmar dipikirkan kembali.
Hal ini didasarkan atas belum stabilnya kondisi di Myanmar pascakekerasan militer yang menyebabkan lebih dari 655.000 Muslim Rohingya eksodus ke Bangladesh sejak 25 Agustus 2017. Organisasi Dokter Lintas Batas menyebutkan, sekitar 6.700 wrga Myanmar tewas di bulan pertama sejak kekerasan pecah.
Mereka dibunuh dengan cara ditembak dan dibakar di dalam rumah.
Desakan UNHCR itu disampaikan setelah Bangladesh menunda pemulangan pengungsi yang seharusnya dilakukan pada 23 Januari 2018. Alasannya, otoritas di Bangladesh belum selesai memverifikasi semua pengungsi yang akan dipulangkan pada tahap pertama ini.
Selain itu, pembangunan fasilitas transit di perbatasan kedua negara belum selesai. Tempat transit itu akan digunakan sebagai lokasi bermukim sementara, sebelum para pengungsi kembali ke Rakhine, Myanmar.
“Agar pemulangan dilakukan dengan benar, agar bisa dilakukan secara berkelanjutan, benar-benar layak, Anda harus bisa menangani permasalahan-permasalahan yang ada, yang untuk sementara ini kami tidak pernah mendengar apa pun tentang itu,” kata Kepala UNHCR, Filippo Grandi, di Jenewa, Swiss, dikutip dari Reuters, Rabu (24/1/2018).
UNHCR tidak dilibatkan oleh Myanmar dalam pemulangan sekitar 1 juta pengungsi itu. Negara itu tampaknya tak ingin ada keterlibatan lembaga asing dalam mengurus konflik berbau etnis ini. Sebelumnya, Myanmar menolak utusan HAM PBB untuk melakukan penyelidikan.
Di tempat terpisah, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri AS Heather Nauert mengatakan, penundaan pemulangan pengungsi merupakan ide yang baik. Washington, kata dia, juga menyayangkan tidak diberikannya akses bagi organisasi PBB untuk memantau pemulangan ini.
“Pengungsi tak bisa dipaksa pulang saat mereka masih merasa belum aman. Semua orang memang ingin pulang dalam proses jangka panjang, tapi mereka ingin pulang saat kondisinya sudah aman,” kata Nauert.
Menteri Pertahanan AS James Mattis saat berkunjung ke Indonesia, Selasa 23 Januari, mengatakan, kondisi warga etnis Rohingya bahkan lebih buruk dari yang diberitakan media.
“Ini sebuah tragedi yang lebih buruk dari apa pun yang diberitakan CNN atau BBC,” kata Mattis.