Rakyat Bicara: Trotoar Ada, Bahagia Kotanya

iNews
Ahmad Islamy Jamil
Warga berjalan kaki di atas salah satu trotoar Kota Jakarta (ilustrasi). (Foto: iNews/Dok.)

ADA satu temuan menarik dalam studi yang dirilis tim peneliti dari Universitas Stanford, California, Amerika Serikat (AS), Juli 2017. Hasil riset yang dipublikasikan dalam jurnal Nature itu menobatkan Indonesia sebagai bangsa paling malas berjalan kaki di dunia, yakni hanya 3.513 langkah per hari.

Angka itu lebih rendah dari jumlah rata-rata aktivitas berjalan kaki masyarakat secara global, yaitu 4.961 langkah atau sekitar 4 km per hari. Orang Indonesia juga masih kalah dari penduduk negeri jiran Malaysia yang mampu berjalan 3.963 langkah per hari. Sementara, masyarakat Hong Kong berhasil menyandang predikat “paling rajin berjalan kaki” di dunia, yakni sebanyak 6.880 langkah setiap hari.

Malasnya orang Indonesia untuk melangkah—terutama di daerah-daerah perkotaan—tidak bisa dilepaskan dari minimnya sarana umum yang disediakan pemerintah untuk pedestrian. Seperti di Jakarta misalnya, keberadaan trotoar boleh dibilang jauh dari kata memadai. Di beberapa tempat di Ibu Kota, kondisi fasilitas tersebut bahkan sama sekali tidak menunjang kenyamanan para penggunanya, sehingga membuat sebagian besar masyarakat semakin enggan berjalan di atas trotoar.

Suasana trotoar di Jakarta (ilustrasi). (Foto: iNews/Dok.)


Koordinator Koalisi Pejalan Kaki (KoPK), Alfred Sitorus menuturkan, ada beberapa faktor penyebab rendahnya angka aktivitas melangkah kaki di Jakarta. Yang pertama adalah belum tercukupinya infrastruktur bagi para pejalan kaki. Menurut data yang dia peroleh, dari total 7.200 km panjang seluruh ruas jalan di Ibu Kota, yang sudah dilengkapi trotoar hingga 2017 baru di bawah 6 persen atau sekira 400 km. Dari jumlah tersebut, trotoar yang benar-benar ideal dan layak untuk dilalui pejalan kaki cuma setengahnya atau sekitar 216 km.

Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta di era kepemimpinan sebelumnya pernah menargetkan pembangunan trotoar sepanjang 2.600 km. Padahal, kata Alfred, kesanggupan Jakarta untuk membangun trotoar hanya berkisar 50 km per tahun, dengan anggaran mencapai Rp300 miliar – Rp400 miliar.

“Artinya, untuk merampungkan pembangunan trotoar 2.600 km, Jakarta membutuhkan waktu 30 tahun atau enam periode gubernur,” ujarnya kepada iNews, belum lama ini.

Faktor kedua, kata Alfred, malasnya orang Jakarta berjalan kaki juga dikarenakan banyak jalur pedestrian telah beralih fungsi atau diokupasi untuk tujuan-tujuan lain. Di sejumlah tempat di kota itu, badan trotoar justru dijadikan pangkalan ojek, lapak pedagang kaki lima (PKL), dan lahan parkir mobil. Bahkan, tidak sedikit pula trotoar yang tergusur akibat pembangunan tiang penyangga jalan layang dan tangga halte busway Transjakarta.

Catatan: Survei melibatkan lebih dari 700.000 orang sebagai sampel. Para peneliti memanfaatkan aplikasi pada ponsel cerdas untuk melihat seberapa aktif orang-orang dari berbagai negara di dunia berjalan kaki. Dari 46 negara, setidaknya ada 69 kota yang dilibatkan di dalam penelitian ini.


Alfred mengungkapkan, setiap hari KoPK menerima 500 – 800 aduan dari masyarakat terkait kondisi trotoar tak layak di Jakarta. Potret tersebut cukup menggambarkan betapa kota yang punya kedudukan sebagai pusat pemerintahan Indonesia itu belum ramah untuk pejalan kaki.

Menurut catatan Pemprov DKI Jakarta, total temuan pelanggaran PKL berjualan di trotoar Ibu Kota pada Agustus 2017 mencapai 1.868 kasus. Selanjutnya, temuan pelanggaran kendaraan menerobos trotoar pada bulan yang sama berjumlah 945 kasus. Sementara, temuan pelanggaran kendaraan parkir di trotoar Jakarta pada periode itu mencapai 4.740 kasus.

Dinas Perhubungan Provinsi DKI Jakarta sebenarnya sudah melakukan beragam cara untuk menindak pelanggaran-pelanggaran tersebut. Mulai dari menderek mobil, menjaring sepeda motor, hingga menggelar operasi cabut pentil ban kendaraan yang kedapatan mengokupasi trotoar. Namun, semua langkah penertiban itu belum mampu sepenuhnya memberikan efek jera terhadap para pelanggar.

“Penindakan yang dilakukan Pemprov DKI itu bagian dari shock therapy saja. Di luar itu, diperlukan formulasi yang menyeluruh untuk mengubah mental para pengguna jalan raya kita,” ucap Alfred.

Tidak hanya mental para pengguna jalan, kata Alfred, perspektif pemerintah dalam melaksanakan kegiatan pembangunan juga perlu diubah. Trotoar jangan lagi dianggap sekadar hiasan untuk mempercantik kota, tapi betul-betul sebagai kebutuhan yang harus dipenuhi untuk membahagiakan dan memanusiakan para pejalan kaki.

“Kalau memang ingin menjadikan Jakarta kota yang humanis, pemerintah harus membangun fasilitas secara masif bagi warganya untuk berjalan kaki,” ujarnya.

Di samping itu, kata Alfred, pemerintah juga perlu merancang jaringan moda transportasi massal yang terintegrasi dengan jalur pedestrian. Jika itu bisa terwujud, masyarakat tentu akan semakin nyaman melangkah di Jakarta. Dengan begitu, jumlah pejalan kaki akan bertambah. Pada gilirannya, kemacetan di Ibu Kota pun akan terurai seiring makin menurunnya jumlah pengguna kendaraan pribadi di jalan raya.

Suasana trotoar di Jakarta (ilustrasi). (Foto: iNews/Dok.)


Salah satu pedagang pakaian di kawasan Tanah Abang, Jakarta Pusat, Sulthan Badr Ridwan, mengungkapkan beberapa alasan yang mendorong banyaknya PKL menggunakan badan trotoar sebagai lokasi berjualan. Pertama, posisi trotoar yang berada persis di pinggir jalan raya memudahkan mereka untuk berinteraksi langsung dengan para konsumen. Kedua, ramainya pengguna jalan yang berlalu-lalang di trotoar membuat peluang terjualnya barang dagangan mereka semakin terbuka lebar.

Sejak dekade 1990-an sampai sekarang, Sulthan mengaku sudah tiga kali terjaring razia yang digelar petugas Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Provinsi DKI Jakarta. Walaupun begitu, pengalaman tersebut tak membuatnya kapok untuk tetap berjualan di trotoar.

“Mau bagaimana lagi, kami ini rakyat kecil kan butuh makan juga. Sedangkan, kalau diminta menyewa kios di dalam pasar untuk berjualan, kami tak sanggup membayar sewanya karena terlalu mahal,” kata Sulthan. ***

Editor : Ahmad Islamy Jamil
Artikel Terkait
Megapolitan
11 jam lalu

3 Jalur Alternatif Tambun Jakarta, Solusi Ampuh Melibas Kemacetan!

Megapolitan
12 jam lalu

3 Jalur Alternatif Jakarta Bogor untuk Perjalanan Lebih Cepat dan Bebas Macet

Buletin
13 jam lalu

Jakarta Dinobatkan sebagai Ibu Kota Terpadat Dunia! 42 Juta Jiwa Menumpuk, Johar Baru Jadi Sorotan

Megapolitan
1 hari lalu

5 Tempat Wisata di Jakarta yang Lagi Hits 2025, Spot Instagramable Banget!

Berita Terkini
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
Network Updates
News updates from 99+ regions
Personalize Your News
Get your customized local news
Login to enjoy more features and let the fun begin.
Kanal