JAKARTA, iNews.id – Pemerintah telah menerbitkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 5 Tahun 2018 untuk mempercepat rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana gempa bumi beruntun yang melanda Nusa Tenggara Barat (NTB). Walau demikian, pengasuh Pondok Pesantren Modern Dea Malela di Sumbawa, NTB, Din Syamsuddin, menilai inpres itu perlu diperbaiki.
Alasannya, inpres itu hanya menyebut beberapa kabupaten di Pulau Lombok. Padahal, dampak gempa juga menimpa Pulau Sumbawa, khususnya Kabupaten Sumbawa dan Kabupaten Sumbawa Barat.
“Saya saksikan di lapangan, ribuan penduduk di dua kabupaten tersebut sama menderita. Rumah mereka hancur dan mereka terpaksa mengungsi dan tinggal di luar rumah dalam kesusahan tanpa tenda, air bersih, dan logistik yang cukup,” ujar Din, Minggu (26/8/2018).
Dia berpendapat, dengan tidak disebutkannya dua kabupaten di Pulau Sumbawa itu, Inpres Nomor 5 Tahun 2018 justru mengesankan adanya diskriminasi dalam penanganan korban gempa di NTB. Padahal, kata Din, negara harus hadir secara berkeadilan.
“Pemerintah Provinsi NTB harus memberi data yang faktual dan menyeluruh,” tutur mantan ketua umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah itu.
Presiden Jokowi melalui Inpres Nomor 5 Tahun 2018 menginstruksikan kepada 19 menteri Kabinet Kerja, panglima TNI, kapolri, jaksa agung, kepala BNPB, kepala BPKP, kepala LKPP, gubernur NTB, bupati Lombok Barat, bupati Lombok Utara, bupati Lombok Tengah, bupati Lombok Timur, dan wali kota Mataram untuk melaksanakan percepatan rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana gempa bumi di NTB.
Akan tetapi, dalam inpres itu, Jokowi hanya menyebutkan secara eksplisit rehabilitasi dan rekonstruksi untuk Kabupaten Lombok Barat, Lombok Utara, Lombok Tengah, Lombok Timur, Kota Mataram, dan wilayah terdampak di Provinsi NTB, yang mengakibatkan korban jiwa, pengungsian, kerusakan, dan kerugian di beberapa sektor.