JAKARTA, iNews.id - Inilah sederet tokoh yang mempelopori pertentangan sistem tanam paksa. Saat Johannes Van Den Bosch memimpin Hindia Belanda, pemerintah Belanda mulai mengenalkan sistem tanam paksa atau cultuur stelsel.
Dalam sistem ini, setiap desa diwajibkan mengalokasikan sebagian lahan mereka untuk menanam komoditas ekspor seperti kopi, tebu, dan indigo. Rincian terkait sistem tanam paksa ini tertuang dalam dokumen resmi pada tahun 1834 Nomor 22.
Awalnya, sistem tanam paksa diterapkan di Jawa dan kemudian dikembangkan di daerah-daerah di luar Pulau Jawa. Lalu sistem tanam paksa mulai diberlakukan di Sumatera Barat pada tahun 1847.
Pada saat itu, penduduk yang sebelumnya dapat menanam kopi secara bebas dipaksa menyerahkan hasil panennya kepada pemerintah kolonial. Sistem serupa juga diterapkan di daerah lain seperti Minahasa, Lampung, dan Palembang.
Walau begitu, sistem tanam paksa yang dilakukan oleh Belanda mendapatkan kritik dari berbagai pihak. Sebagai hasil dari tekanan tersebut, Belanda akhirnya menghapus sistem tanam paksa tersebut.
Merangkum dari berbagai sumber, adapun para tokoh yang mempelopori pertentangan sistem tanam paksa sebagai berikut.
Wolter Robert van Hoëvell lahir pada 14 Juli 1812. Dia adalah seorang penulis, politikus, reformis, dan menteri asal Belanda. Ia melakukan perlawanan terhadap sistem tanam paksa semata-mata atas alasan kemanusiaan dengan tujuan menghapuskan sistem tersebut.
Di tahun 1848, ia kerap melakukan protes terhadap kebijakan pemerintah Belanda yang tidak mengutamakan kepentingan rakyat. Namun, gerakan penentangan yang dilakukannya mendapatkan tanggapan negatif dari pemerintah Belanda, dan akibatnya ia diusir karena dianggap sebagai orang radikal.
Isaäc Dignus Fransen van de Putte lahir pada 22 Maret 1822. Di abad ke-19, Frans Van de Putte merupakan tokoh politik liberal terkemuka di negeri Belanda. Ia memulai karirnya di angkatan laut dan dikenal sebagai penentang sistem tanam paksa yang dilakukan oleh pemerintah Belanda.
Bersama dengan tokoh lainnya, termasuk Douwes Dekker, Frans Van De Pute ikut berjuang melawan penindasan dan penjajahan. Selain itu, Frans Van De Pute juga memiliki pengalaman bekerja sebagai pegawai di sebuah pabrik gula besar di Jawa.
Gerakan penentangan yang dilakukannya termanifestasikan dalam bukunya yang berjudul "Sulker Contacten" atau "Kontrak Gula" dalam bahasa Indonesia.
Pada 29 September 1857 lahirlah seorang ahli hukum dan tokoh penggerak gerakan Politik Etis asal Belanda yang bernama Van Deventer. Melalui gerakan humanis yang ia pilih, Van Deventer terus menentang praktik kolonialisme di Hindia Belanda pada abad ke-19.
Dengan melakukan gerakan penentangan, Van Deventer mendorong adanya perubahan dalam hubungan yang sebelumnya tidak seimbang menjadi hubungan yang saling menguntungkan. Hal ini dilakukan setelah ia menyaksikan perilaku bangsa Belanda dalam menerapkan kebijakan kolonial di Hindia Belanda.