JAKARTA, iNews.id – Peneliti senior dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Syamsuddin Haris, menilai selama dua dekade pascareformasi, demokrasi Indonesia mengalami stagnasi. Kondisi itu salah satunya disebabkan kegagalan terkonsolidasinya masyarakat sipil atau civil society.
“Ada tiga yang membuat demokrasi Indonesia tertatih, yaitu warisan kolonialisme, sistem otoriter yang terlalu lama sejak 1940 hingga 1998, dan kegagalan konsolidasi politik sipil,” ujar Syamsuddin dalam diskusi bertajuk Peluang dan Tantangan Demokrasi ke Depan di Gedung LIPI, Jakarta, Selasa (11/12/2018).
Dia mengatakan, kegagalan konsolidasi masyarakat sipil itu sudah terlihat sejak 1998, ketika Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, Amien Rais, dan Sri Sultan Hamengkubuwono X gagal mencapai konsensus politik. Menurut dia, kegagalan konsolidasi di tingkat elite politik itu menandakan melembaganya sikap saling curiga di antara elemen sipil yang berlanjut hingga saat ini.
“Esensinya kegagalan sipil membangun konsensus, politik mau dibawa ke mana dan sistem yang mau dijalankan seperti apa. Saya nilai fenomena transisi demokrasi sampai saat ini munculnya pembelahan politik yang kelihatannya sampai 2019,” tuturnya.
Karena itu, Syamsuddin mengajak masyarakat menarasikan kembali konsolidasi politik sipil karena kekuatan demokrasi yang dahsyat adalah elemen politik sipil. Namun, kata dia, jika dibandingkan dengan negara-negara di kawasan Asia Tenggara, kelompok politik sipil di Indonesia sebenarnya cukup kuat meski sering “masuk angin” dan terkooptasi khususnya di tingkat lokal.
“Konsolidasi demokrasi yang berjalan bagaimana masyarakat sipil harus otonom atas dua pihak yaitu masyarakat politik atau negara dan masyarakat ekonomi dalam hal ini pasar,” ucapnya.
Dia juga menilai penyebab demokrasi Indonesia stagnan dalam dua dekade terkahir karena oligarki politik dan oligarki ekonomi, yang terjadi di tingkat nasional serta lokal. Menurut dia, sulit membayangkan setelah reformasi masyarakat akan menikmati kedaulatan rakyat dan kebebasan sipil, karena demokrasi sudah diintervensi oligarki.
“Misalnya di pilkada (pemilihan kepala daerah), calon yang diusung parpol adalah yang penting memberikan kontribusi rente kepada elit politik. Dampaknya, pilkada menjadi ‘panen raya’ bagi para elite politik,” kata dia.
Syamsuddin berpendapat, diperlu dukungan kolektif dalam membenahi sistem demokrasi Indonesia, misalnya LIPI bekerja sama dengan KPK dalam membenahi parpol yang disebut sistem integritas partai politik. Dia mengatakan, selama ini salah satu episentrum korupsi ada di parpol. Padahal, parpol semestinya menjadi sarana rekrutmen calon pemimpin bangsa dan wadah pendidikan politik bagi masyarakat sipil.