JAKARTA, iNews.id – Dalam jagat pacuan kuda, tak ada prestasi yang lebih sakral dan mengguncang dunia selain Triple Crown. Gelar ini bukan sekadar simbol kemenangan, melainkan lambang absolut dari kehebatan, konsistensi, dan keabadian.
Hanya segelintir kuda yang mampu menyapu bersih tiga balapan paling menantang dalam satu musim. Merekalah yang abadi dalam sejarah.
Triple Crown bukan tentang menang tiga kali. Ia adalah ujian pamungkas: jarak berbeda, waktu pemulihan minim, dan lawan-lawan terbaik usia tiga tahun. Inilah momen sekali seumur hidup bagi seekor kuda—tak ada pengulangan musim, tak ada coba lagi tahun depan. Sekali gagal, selamanya hilang.
“Dari situ kita lihat, begitu sulit meraih Triple Crown Indonesia,” ujar Ketua Komisi Pacu PP PORDASI, Ir. H. Munawir.
Legenda-Legenda Dunia yang Menyandang Mahkota Triple Crown
Amerika Serikat: Tempat Lahir Pahlawan Besar
Tiga ajang raksasa: Kentucky Derby, Preakness Stakes, dan Belmont Stakes. Jarak makin panjang, waktu pemulihan makin sempit. Sejak abad ke-19, hanya 13 kuda mampu menyapu bersih. Yang terakhir? Justify (2018), menyusul American Pharoah (2015) yang memecah kutukan hampir 40 tahun.
Inggris: Tempat Triple Crown Menjadi Legenda
Di tanah kelahiran pacuan kuda modern, Triple Crown adalah mimpi yang nyaris mustahil. Terakhir kali diraih oleh Nijinsky (1970). Sejak itu, tak satu pun berhasil, termasuk Camelot (2012) yang jatuh di ujung jalan, St. Leger.
Jepang: Sambakan, Simbol Keteguhan Setengah Tahun
Jepang menuntut stamina jangka panjang: dari Satsuki Sho hingga Kikuka Sho, membentang dari April sampai Oktober. Hanya delapan kuda jantan yang menaklukkannya, dengan Contrail (2020) sebagai penakluk terakhir. Untuk kuda betina, Triple Tiara diukir nama-nama agung seperti Apapane, Gentildonna, dan Liberty Island (2023).