JAKARTA, iNews.id - Dunia dikejutkan kabar bocornya data pengguna Facebook sebanyak lebih dari 50 juta akun ke pihak ketiga. Berita ini menyebar setelah ada pengakuan dari internal Cambridge Analytica, bahwa mereka mendapatkan data dari Facebook dan digunakan oleh klien mereka.
Salah satu klien Cambridge Analytica adalah Donald Trump yang terpilih sebagai presiden Amerika Serikat (AS) pada akhir 2016.
Kabar miring ini membuat saham Facebook turun 6,8 persen dan diperkirakan akan terus merosot. Selain itu, Parlemen Uni Eropa memanggil Mark Zuckerberg untuk hadir dalam sidang parlemen di Brussles, Belgia. Parlemen Inggris tak mau ketinggalan meminta penjelasan langsung dari Zuckerberg.
Pakar keamanan siber Pratama Persadha mengemukakan, bahwa ini momentum yang tepat untuk mengevaluasi Facebook sebagai media sosial terbesar di dunia. Facebook sendiri diketahui juga pemilik dari Instagram dan WhatsApp, aplikasi instant messaging terbesar di dunia saat ini.
“Facebook ini memang sudah diketahui lama memanfaatkan data para penggunannya untuk kepentingan bisnis. Namun peristiwa skandal Facebook dan Cambridge Analytica ini bertambah ramai karena menyeret nama Presiden AS Donald Trump,” ujarnya, dalam keterangan tertulis kepada iNews.id, Rabu (21/3/2018)
Seperti diketahui, Cambridge Analytica adalah konsultan politik saat Donald Trump maju pada pilpres AS akhir 2016 lalu. Selain isu keikutsertaan Rusia dalam membantu kemenangan Trump, Facebook juga langsung dihantam karena dianggap membiarkan dan membantu kemenangan Trump. Pasalnya selama masa pemilu banyak konten hoaks dan bernada rasis muncul di beranda Facebook para pemilih di AS.
“Facebook sendiri membuka data pengguna ke pihak ketiga memang sangat mudah. Bahkan sampai pada 2014, Facebook masih mempunyai program friend permission untuk pihak ketiga sehingga cakupan data yang diambil menjadi sangat banyak,” terang chairman lembaga riset keamanan siber CISSReC (Communication and Information System Security Research Center) ini.
Program “Friend Permission” adalah sebutan untuk API (application programme interface) milik Facebook yang diberikan ke pihak ketiga. Melalui API, pihak ketiga tidak hanya mendapatkan data dari pemilik akun tertarget, namun juga teman-temannya di Facebook. Ini memungkinkan Cambridge Analytica memperoleh data dalam jumlah yang sangat banyak.
Pratama menjelaskan bahwa peristiwa Facebook ini memperjelas bagaimana pentingnya Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi harus segera diselesaikan.
“RUU Perlindungan Data Pribadi harus dikebut. Kita sulit untuk meminta pertanggungjawaban Facebook, karena instrumennya tidak ada. Berbeda dengan negara-negara Eropa yang langsung mengirimkan undangan kepada Zuckerberg,” jelas pria asal Cepu Jawa Tengah ini.
RUU Perlindungan Data Pribadi sendiri tidak masuk dalam Prolegnas 2018. Meski DPR dan Kemenkominfo mendorong, Kemenkumham lebih memilih RUU lainnya untuk dijadikan prioritas selesai pada 2018 ini.
“Pemerintah ini juga sedang mengumpulkan data masyarakat, salah satunya lewat e-KTP dan registrasi kartu prabayar. Ada juga rencana membagi data tersebut untuk keperluan tertentu, seperti administrasi dan bisnis. Tentu secara bersamaan masyarakat perlu dilindungi dengan UU Perlindungan Data Pribadi, sehingga apa yang boleh dan tidak menjadi jelas,” tandasnya.