BANJARNEGARA, iNews.id – Banyak tempat indah dan bernilai sejarah di Indonesia. Salah satunya di kompleks percandian Dieng, Jawa Tengah.
Dieng berada pada ketinggian 2.000 meter di atas permukaan laut. Delapan candi utuh tersebar sepanjang 1 kilometer dengan lebar 0,8 kilometer yang masuk wilayah Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah. Candi-candi Hindu Siwa ini dinamakan tokoh-tokoh wayang, yaitu Arjuna, Semar, Srikandi, Puntadewa, Sembadra, Bima, Dwarawati, serta Gatotkaca.
Setelah melewati ladang-ladang kentang dan sayuran yang berpayung langit jingga menjelang matahari tenggelam, saya baru sampai di Dieng dari Wonosobo sesudah maghrib. Selain Candi Gatotkaca dan Dwarawati, pintu pagar enam candi lain telah dikunci.
Saya memasuki Candi Gatotkaca yang beryoni di dalamnya. Harum bunga yang tak terendus hidung di luar candi, membuat malam di Candi Gatotkaca kian terasa singup.
Di kediaman Pak Turah, seorang petani kentang di Dieng, saya bertemu putranya, Timbul, yang bekerja di Museum Kailasa, dekat kompleks Candi Arjuna. Sambil menghangatkan tubuh di dapur (pawon) tradisional yang masih berbahan kayu bakar, Timbul bercerita kepada saya dan tiga teman dari Wonosobo yang mendengarkannya seraya mengunyah kentang, serta kacang goreng.
“Kalau orang Bali banyak bersembahyang di Candi Dwarawati,” ujarnya.
Kami pun penasaran, kendati jarum jam sudah menunjukkan pukul 21.00 WIB. Pak Turah lalu mengantar kami ke Candi Dwarawati. Kebetulan letak candi ini dekat kebun kentangnya di lereng Gunung Prau, Desa Dieng Kulon, Kecamatan Batur, Banjarnegara. Panjang Dwarawati lima meter, dengan lebar empat meter dan tinggi enam meter. Mungkin lantaran candi tersebut hanya berpagar kawat setinggi satu meter, tiga arca di dalamnya, yakni Ganesha, Agastya, serta Durga, telah dipindahkan ke Museum Kailasa.
Berkat cahaya senter di depan Candi Dwarawati, saya pertama kali melihat pohon carica. Tanaman sejenis pepaya tapi berukuran kecil ini sedang hits sebagai oleh-oleh Dieng, karena rasanya segar di tenggorokan. Hawa dingin dataran tinggi Dieng yang mencapai 13 derajat Celsius malam itu, membuat kami berkumpul lagi mengelilingi tungku kayu bakar di dapur rumah Pak Turah. Istrinya berbaik hati menyajikan makan malam, sebelum kami tertidur nyenyak di balik selimut.
Keesokan harinya, kami meninggalkan rumah Pak Turah disambut bianglala. Lengkung aneka warna pelangi seperti tersenyum, mengajak kami kembali ke kompleks Candi Arjuna. Namun pintu pagarnya belum dibuka. Akhirnya kami kembali ke Candi Gatotkaca yang berdiri gagah menyambut hari. Saya menaiki ketinggian agar bisa memotret bagian atas candi. Sinar surya memeluk hangat, seakan melepas kami yang meninggakan Dieng nan elok.