10 Juta Gen Z di RI jadi Pengangguran, Ada Masalah Apa?
JAKARTA, iNews.id - Tercatat ada 10 juta generasi Z di Indonesia yang menjadi pengangguran. Hal ini ditengarai menjadi fakta mengejutkan terutama penerapan Undang-Undang Cipta Kerja.
Melalui Undang-Undang tersebut, pemerintah berharap dapat memberikan peluang terbukanya investasi dan pembukaan lapangan kerja. Namun faktanya, berdasarkan data temuan Badan Pusat Statistik (BPS), situasi tersebut justru kontradiktif.
Senior Ekonom sekaligus Pendiri INDEF Didin Damanhuri menjelaskan fakta yang mengejutkan tersebut dipandang sebagai indikasi awal gagalnya UU Cipta Kerja dalam menjawab persoalan pembukaan lapangan pekerjaan. Dia mengatakan inisiasi pemerintah yang sudah menghabiskan anggaran hingga triliunan rupiah, justru menjadi ironi bila melihat bonus demografi ini tersia-siakan.
"Iya UU Cipta Kerja ini tidak berjalan efektif, UU Cipta Kerja ini malah tidak bisa membuka peluang lapangan kerja semakin lebar. Padahal UU Cipta Kerja itu telah dikritik Serikat Buruh karena bekerja sebagai pegawai kontrak seumur hidup, bahkan mengorbankan lingkungan," ujar Didin kepada iNews.id, Minggu (26/5/2024).
Didin mengungkapkan, UU Cipta Kerja yang diimplementasikan memang membuka peluang investasi di Indonesia. Namun, mengutip temuan BPS, realisasi investasi penanaman modal asing (PMA) dan dalam negeri (PMDN), cenderung lebih padat modal.
klik halaman selanjutnya untuk membaca>>>
Mengingat industri padat modal dalam produksinya cenderung lebih mengutamakan penggunaan mesin daripada tenaga manusia.
"Seharusnya investasi ini lebih diutamakan untuk industri padat karya. Pemerintah perlu melakukan reevaluasi UU Cipta Kerja ini karena 10 juta pengangguran gen Z ini memilukan sekali faktanya," tutur Didin.
"Artinya pembangunan nasional ini terindikasi gagal ya, khususnya melanggar konstitusi yakni pemerintah wajib memberikan pekerjaan yang layak bagi kemanusiaan," ujarnya.
Di sisi lain, Senior ekonom INDEF, Tauhid Ahmad menjelaskan fenomena berbondong-bondongnya gsn Z melamar pekerjaan di warung seblak daerah Ciamis, Jawa Barat tersebut, lantaran perpindahan industri ke daerah yang lebih murah menerapkan upah minimum bagi pekerjanya.
"Kondisi ini diakibatkan oleh industri-industri yang berpindah ke daerah yang menetapkan upah yang lebih rendah," ujar Tauhid.
Dia mengungkapkan, implikasi perpindahan industri tersebut mengakibatkan daerah yang memiliki kepadatan tenaga kerja, tidak mampu memenuhi permintaan kebutuhan lapangan kerja.
"Tingkat upah yang lebih tinggi dalam suatu daerah, mengakibatkan industri lebih memilih mencari labour cost yang lebih murah. Seperti di Jawa Barat tadi, industri yang ada disana kebanyakan berpindah ke Jawa Tengah," tutur Tauhid.
Terlebih, Tauhid memandang ketersediaan angkatan kerja yang melimpah di daerah, memiliki tantangan kompetisi dalam hal kualifikasi keahlian dan pendidikan. Maka situasi tersebut mengakibatkan usia angkatan kerja yang ada bersaing di sektor informal dan produksi jasa di daerah.
"Jadi kualifikasi tenaga kerja kita di daerah, tidak bisa memenuhi kebutuhan industri karena bersaing dengan tenaga kerja di kota-kota besar yang cenderung memiliki sistem pendidikan yang lebih baik," ujar Tauhid.
Editor: Puti Aini Yasmin