Bahlil Pastikan Kebijakan Hilirisasi Berlanjut meski Ditentang Banyak Pihak
JAKARTA, iNews.id - Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia menyampaikan bahwa seorang pemimpin negara akan menjadi aktor utama dalam sebuah perubahan. Bahlil menjelaskan salah satu contoh saat ini tengah menjadi sorotan adalah kebijakan hilirisasi.
Bahlil menegaskan, pemerintah telah melarang penjualan beberapa komoditas mentah. Oleh karena itu, perusahaan asing yang membutuhkan komoditas dari dalam negeri wajib mendirikan pabrik di dalam negeri, mengolahnya menjadi barang setengah jadi dan jadi, kemudian baru bisa dijual.
Kebijakan tersebut menurutnya tidak disukai oleh beberapa negara. Pasalnya, mereka harus mengeluarkan uang yang lebih untuk membangun industri di dialam negeri jika hendak memanfaatkan komoditas dalam negeri.
"Indonesia dijajah karena Komoditas, kita kirim barang mentah, itu agar Indonesia tidak maju, Presiden Jokowi minta untuk setop ekspor nikel, saya juga kan pengusaha tambang, karena perintah Presiden ya saya lakukan juga," ujar Bahlil dalam acara Festival Gen Z 2023 di MNC Conference Hall iNews Tower, Jakarta, Sabtu (8/7/2023).
Bahlil menjelaskan, kebijakan larangan ekpsor nikel ini cukup mendapatkan tentangan. Bahkan IMF yang memuji pertumbuhan ekonomi Indonesia masih stabil ditengah ekonomi negara lain sedang tidak stabil, juga menyisipkan pesan agar kebijakan larangan ekspor nikel ini dapat dipertimbangkan kembali.
"Yang terjadi juga UNI Eropa bawa kita ke WTO agar tidak dilanjutkan larangan ekspor nikel, saya tanya presiden, katanya, Mas Bahlil kita sudah berdaulat, maju terus, kita lawan," tuturnya.
Di sisi lain, kebijakan hilirisasi nikel ini menurut Bahlil sudah terbukti mendatangkan nilai tambah yang cukup besar. Bahkan, secara nilai, ekspor nikel mentah hanya berkonstribusi kurang lebih Rp45 triliun ke negara, sedangkan melalui kebijakan hilirisasi mampu berkontribusi pada kas negara Rp450 triliun.
Dampak lainnya yang lebih penting menurut Bahlil adalah terbukanya lapangan kerja baru. Hal tersebut kaitannya tentang kesejahteraan masyarakat yang akhirnya mendapatkan pekerjaan baru dari adanya industri hilir yang dibangun.
Hal itulah yang menurut Bahlil bahwa Indonesia yang masih berstatus sebagai negara berkembang, membutuhkan pemimpin kedepan yang mampu mengambil kebijakan dan berdampak besar terhadap kesejahteraan masyarakat.
"Jadi hati-hati, kecerdasan seseorang tidak cukup modal menjadi presiden dan menteri, saya takut Indonesia memilh pemimpin yang hanya retorika. Kalau orang hanya tau baca buku, tidak punya pengalaman organisasi, pasti berbeda, memimpin negara, bukan hanya cuma baca buku, tapi butuh intuisi," tuturnya.
"Mau cari pemimpin yang pandai eksekusi atau padai pidato, silahkan memilih, tapi kalau ada pemimpin yang oernah menjabar cek track record-nya, paling bagus pandai pidato pandai retorika," sambungnya.
Editor: Aditya Pratama