Belum Pulih dari Dampak Pandemi, Ekonomi Thailand Terguncang Perang Rusia-Ukraina
BANGKOK, Thailand – Ekonomi Thailand yang belum sepenuhnya pulih dari dampak pandemi Covid-19 kembali terguncang oleh perang Rusia-Ukraina. Kenaikan harga minyak dunia yang menembus 130 dolar Amerika Serikat per barel telah mengancam putaran baru kenaikan inflasi dan krisis rantai pasokan di Thailand.
Perdana Menteri Thailand, Prayuth Chan-O-Cha, telah mengimbau masyarakat untuk memahami keputusan pemerintah untuk membekukan subsidi bahan bakar minyak (BBM).
“Kami sedang mendiskusikan langkah-langkah untuk membekukan (subsidi) harga bensin. Tapi kami tidak bisa begitu saja membantu semua orang. Seperti yang Anda ketahui, pemerintah tidak benar-benar punya uang, jadi Anda harus memahami kami,” kata Prayuth Chan-O-cha, awal bulan ini.
Kementerian Perdagangan Thailand juga telah mengumumkan bahwa inflasi Thailand pada Februari 2022 naik menjadi 5,28 persen. Angka inflasi tersebut merupakan rekor tertinggi dalam 13 tahun terakhir dan jauh di atas perkiraan.
Analis melihat masalah yang lebih buruk akan datang ketika negara itu belum sepenuhnya pulih dari dampak pandemi Covid-19 dan kini terpukul oleh perang Rusia-Ukraina.
Ketua Dewan Pengirim Nasional Thailand, Chaichan Chareonsuk, mengatakan perang Rusia-Ukraina menutupi harapan pemulihan ekonomi yang cepat bagi Thailand di tahun ini.
“Kami akan merasakan sakitnya jauh di tahun ini dan kemungkinan besar di tahun berikutnya. Situasi geopolitik, inflasi global, pandemi di mana Thailand masih memiliki jumlah kasus yang tinggi, dan biaya pengiriman masih sangat tinggi. Semua itu pasti akan merusak pertumbuhan kami,” kata Chaichan Chareonsuk, seperti dikutip Al Jazeera, Rabu (9/3/2022).
Sektor perdagangan dan pariwisata Thailand juga dilaporkan terpukul hebat setelah Rusia melakukan invasi ke Ukraina, pada 24 Februari 2022. Sejumlah perusahaan pengekspor buah dan sayuran segar asal Thailand, mengaku kesulitan mengirim produk mereka ke Rusia.
Salah satunya adalah Purithai Produce, yang menjadi perusahaan pengekspor buah dan sayuran ke beberapa supermarket Rusia. Permintaan dari negara itu berkurang sejak perang Rusia-Ukraina pecah.
Bahkan pesawat Aeroflot yang diandalkan Purithai Produce untuk mengangkut produknya ke Rusia, tidak lagi membuka jasa pengiriman karena semua penerbangan difokuskan untuk membawa turis Rusia yang mempersingkat liburan di Thailand.
“Kami pada dasarnya kehilangan akses pasar ke Rusia. Pelanggan kami di Rusia mengatakan bahwa konsumen mereka berkurang karena orang-orang tidak punya uang untuk membeli bahan-bahan pokok, apalagi produk tambahan seperti mangga, durian, dan rambutan yang biasanya diimpor dari Thailand,” kata Peyton Enloe, Direktur Pelaksana Purithai Produce, yang mengirimkan produk segar dan beku ke Eropa, Amerika, dan Rusia.
Analis mengatakan, sanksi Barat ke Rusia tak hanya memukul ekonomi negara itu, tetapi juga membuat prospek ekonomi Asia berubah menjadi sangat negatif karena kepedihan ekonomi menyebar ke seluruh dunia.
Bagi Thailand, ekonomi terbesar kedua di Asia Tenggara, guncangan ekonomi setelah invasi Rusia sebagian besar dirasakan di sektor-sektor tertentu. Selain sektor perdagangan, di mana ekspor Thailand ke Rusia sebesar 1 persen, sektor lainnya juga mengalami gangguan rantai pasokan yang serius. Bahkan sektor pariwisata juga menghadapi pukulan baru.
Phuket, destinasi wisata popule di Thailand, melaporkan banyak turis Rusia yang memperpendek kunjungan, bahkan meninggalkan negara itu. Padahal turis Rusia menjadi sumber wisatawan mancanegara terbesar Thailand selama masa pandemi.
Sejak invasi Rusia ke Ukraina, banyak orang Rusia meninggalkan liburan di Thailand untuk kembali ke negaranya, guna mengelola bisnis. Selain itu, kejatuhan rubel akibat sanksi Barat ke Rusia, membuat biaya kunjungan mereka di Thailand meningkat sebesar 30 persen.
Editor: Jeanny Aipassa