Berebut Saudi Aramco, Perusahaan Minyak Terbesar di Dunia
DUBAI, iNews.id – Pemerintah Arab Saudi ingin segera menyelesaikan perundingan dengan investor dari China, Jepang, dan Korea Selatan sebelum memutuskan tempat listing saham Saudi Aramco, perusahaan minyak terbesar di dunia milik pemerintah.
Dikutip dari Reuters, keputusan pemerintah Arab Saudi memprivatisasi Aramco tengah menghadapi kesulitan. Pemerintah Arab Saudi memang berencana menjual sekitar 5 persen saham Aramco lewat dual-listing selain di bursa Riyadh.
Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump sebelumnya meminta agar Aramco melakukan penawaran saham perdana (initial public offering/IPO) di bursa New York sementara Theresa May, Perdana Menteri Inggris juga merayu Aramco untuk listing di bursa London.
Terkait hal ini, pemerintah Arab Saudi masih gamang dan membutuhkan pandangan dari investor dari negara-negara yang diperkirakan membeli saham dalam jumlah besar. Keputusan ini harus diambil paling lambat Maret jika Aramco berencana IPO pada Oktober atau November. Jika terlambat, IPO mungkin ditunda hingga tahun depan.
“Semua orang membicarakan lokasi listing dan mengapa mereka belum juga mengambil keputusan. Tentu saja, Trump sudah mendorong Aramco untuk listing di New York sementara May juga mendorong untuk listing di London. Tapi itu hanya persoalan di permukaan saja,” kata sumber dari dalam pemerintah Arab Saudi seperti ditulis Jumat (2/2/2018).
“Aramco tengah bernegosiasi dengan investor dan tentu saja Aramco dan pemerintah Arab Saudi harus memikirkan mana yang terbaik dari semua ini,” tambahnya.
Selama ini, Asia merupakan pembeli minyak mentah yang terbesar dan paling penting dari Aramco dan perusahaan raksasa tersebut ingin supaya pasarnya di Asia tetap terjaga dalam jangka panjang di tengah kompetisi dengan Rusia dan AS.
Sumber itu juga mengatakan, sejumlah investor tersebut berpandangan bahwa Aramco seharusnya listing di negara Asia daripada di New York dan London.
“Para bankir telah menekankan pada Aramco pentingnya mengamankan investor terlebih dahulu sebelum memutuskan dimana mereka akan listing. Investor dari Asia menjadi paling logis karena disitulah minyak mereka mengalir,” kata seorang bankir yang berbasis di negara Teluk yang terlibat dalam proses IPO tersebut.
IPO yang dilakukan Aramco merupakan strategi pemerintah Arab Saudi untuk mengurangi ketergantungan ekonomi negara tersebut dari minyak.
Pangeran Muhammad bin Salman yang telah mengumumkan rencana reformasi Vision 2030 pada April 2016, menyebutkan bahwa nilai valuasi Aramco bisa mencapai 2 triliun dolar AS atau setara Rp26.809,95 triliun. Dengan melepas 5 persen saham, Aramco menargetkan bisa meraup dana hingga 100 miliar dolar atau Rp1.341,51 triliun dan investor dari Asia akan membeli sebagian besar saham tersebut.
“Kalau IPO ini benar-benar terjadi pada paruh kedua tahun ini, maka pemerintah harus segera mengambil keputusan karena mereka harus merilis prospektus pada awal kuartal dua tahun ini,” kata pejabat senior Arab Saudi lainnya.
“Kalau mereka ingin melakukannya, mereka harus melakukannya sekarang juga,” tambahnya merujuk pada harga minyak yang masih mendidih saat ini pada kisaran 70 dolar AS per barel.
Selama ini Washington merupakan sekutu politik Riyadh dan New York menawarkan pasar yang bagus dengan likuiditas terbaik di antara bursa-bursa dunia lainnya meskipun memiliki persyaratan yang lebih kompleks untuk IPO dibanding bursa London dan Hong Kong.
Pemerintah Arab Saudi saat ini juga tengah mempertimbangkan Aramco untuk listing di bursa lokal Saudi, Tadawul, tapi ada kekhawatiran langkah in bisa merusak pasar. Saat ini, Aramco tengah menganalisis tiga bursa yaitu London, New York, dan Hong Kong. Di Hong Kong, Aramco memiliki opsi untuk listing dengan skema Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu (HMETD) atau private placement yang menguntungkan investor dari Asia.
Editor: Rahmat Fiansyah