Ekonom Sebut Dukungan Pemerintah Diperlukan dalam Stabilitas Nilai Tukar Rupiah
JAKARTA, iNews.id - Pemerintah dinilai turut serta dalam upaya stabilitas nilai tukar rupiah selain yang sudah dilakukan oleh bank sentral dalam hal ini Bank Indonesia (BI). Ekonom senior dan Associate Faculty LPPI Ryan Kiryanto menuturkan, penanganan terhadap stabilitas nilai tukar tidak hanya bertumpu kepada bank sentral, tetapi juga pemerintah.
"BI, kami monitor memang sudah melakukan berbagai strategi, berbagai upaya dari yang sifatnya konvensional sampai dengan yang non-konvensional. Tetapi kembali saya ulang itu tidak cukup, maka harus perlu penguatan dari sisi government atau pemerintah," ucap Ryan dalam acara Market Review IDX Channel, Rabu (19/6/2024).
Adapun, sejumlah upaya konvensional dari BI di antaranya intervensi pasar. Kemudian, kebijakan yang sifatnya non-konvensional yaitu dengan menyediakan instrumen-instrumen surat berharga yang itu bisa memberikan sentimen positif kepada stabilitas rupiah.
"Di antaranya misalnya menyediakan sertifikat rupiah Bank Indonesia kemudian ada sertifikat valuta asing Bank Indonesia, masih ada satu lagi yaitu sukuk valas bahkan BI juga menggunakan instrumen yang lain seperti DNDF dan sebagainya," tuturnya.
Sementara, pemerintah telah mengeksplorasi dan eksploitasi potensi Proceed Export atau Devisa Hasil Ekspor (DHE) karena perangkat hukumnya sudah ada di aturan Menteri Keuangan.
"Perangkat ini harus dioptimalkan lagi kemudian bagaimana peningkatan daripada pengusaha-pengusaha kita untuk memenuhi komponen TKDN-nya, komponen dalam negerinya dalam persentase tertentu sehingga itu mengganti barang-barang import, bahan baku import ke substitusi importnya di dalam negeri," ucapnya.
"Dan masih banyak porsi-porsi lain seperti misalnya BUMN maksud saya, para usaha lain negara juga mempelopori penggunaan komponen-komponen dalam negeri, sekaligus untuk melakukan review terhadap pinjaman-pinjaman valuta asingnya, kapan jatuh temponya dan bagaimana strategi untuk pembunuhan kewajibannya," katanya.
Menurut Ryan, semua itu harus dihitung dalam landscape yang lebih besar sehingga ketika profil jatuh tempo utang-utang luar negeri itu sudah makin dekat, kita menyediakan kecukupan valuta asing, sehingga kita tidak lalai, tidak trader, dan kita diberikan value atau persetujuan yang positif.
"Semua ini harus berkesinambungan dan hands on hands antara central bank dengan pemerintah. Dan kalau ini bisa dibaikin oleh market, saya kira market akan memberikan reaksi atau respon yang positif, sekaligus mengeliminasi sentimen-sentimen negatif yang sekarang ini berkembang," ujar Ryan.
Adapun sentimen ini betul-betul di luar kontrol bank sentral maupun pemerintah. Dengan tentunya komunikasi-komunikasi yang positif dengan data-data yang baik seperti tadi, surplus-nya masih baik, kemudian cadangan devisanya masih bisa cover sampai 6,1 kebutuhan impor dan pembayaran utang luar negeri.
"Kemudian investasi asing maupun domestik yang melampaui target dan sebagainya, ini perlu terus dikomunikasikan sehingga pasar merasa nyaman atau merasa tenang bahwa setidaknya sampai hari ini, perkembangan ekonomi kita masih on the right track," tuturnya.
Editor: Aditya Pratama