Ekonomi Digital Berpeluang Terus Bertumbuh Meski Pendanaan Menurun
JAKARTA, iNews.id – Ekonomi digital berpeluang terus bertumbuh meski pendanaannya mengalami penurunan, dan diterpa gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK).
Fenomena gelombang PHK dan turunnya valuasi yang dialami perusahaan rintisan (startup) yang terjadi saat ini justru menjadi reposisi bagi investasi ke depan.
"Ini terjadi bukan karena pecahnya gelembung yang nantinya dapat merontokkan pertumbuhan ekonomi digital, tetapi akibat munculnya arus balik dari pertumbuhan cepat valuasi perusahaan teknologi digital,” kata praktisi modal ventura, John Riady, dikutip Rabu (9/11/2022).
Dia mengungkapkan, kondisi saat ini jauh berbeda dengan fenomena buble yang terjadi pada akhir 90-an, di mana aliran investasi jumbo masuk ke dalam sektor digital.
Saat itu, bubble dotcom terjadi, valuasi turun, dan secara riil belum terdapat infrastruktur yang mendukung pengembangan lebih jauh.
"Saat ini, digitalisasi terjadi di semua lini, dan mengubah banyak pola kehidupan. Ini yang menjadi peluang bagi ekonomi digital untuk terus bertumbuh,” ungkap John.
Dia menjelaskan, ketika situasi perekonomian global diprediksi bakal mengalami kontraksi akibat perang serta imbas pandemi, hal itu merembet kepada likuiditas serta investasi startup.
“Investor lebih hati-hati, tidak lagi sekadar euforia digital, melainkan cermat menggandeng mitra perusahaan teknologi digital,” tutur John.
Berdasarkan data Vantage, pada Kuartal III 2022, aliran investasi ke sektor teknologi digital kembali seret. Pendanaan modal ventura ke startup di Asia Tenggara (Asean) hanya sekitar 3,72 miliar dolar AS atau turun 36,4 persen secara year on year (yoy).
Bahkan, sejak Januari hingga September 2022, total investasi startup di ASEAN hanya mencapai 12,68 miliar dolar AS, turun 16,4 persen yoy. Sebaliknya jumlah transaksi pendanaan baik secara kuartalan maupun periode tahun berjalan justru mengalami kenaikan.
“Valuasi yang cenderung tinggi itu telah memicu terjadinya inflasi nilai, yang pada akhirnya terjadi penurunan valuasi secara cepat pada perusahaan-perusahaan teknologi digital,” ujar John.
Meski demikian, lanjutnya, berbagai lembaga riset menilai pertumbuhan ekonomi digital untuk kawasan Asean masih cukup kuat. Mengacu riset Google dan Bain & Company, nilai transaksi ekonomi digital Asean mencapai 200 miliar dolar AS pada 2022, tumbuh lebih cepat dari perkiraan.
Terkait prospek ke depan, John menilai ekonomi digital masih tetap cerah, terutama di Indonesia. “Indonesia mengambil porsi lebih dari separuh ASEAN, kita punya populasi produktif yang sangat besar diiringi penetrasi internet cukup masif," ujar John.
Katalis lainnya, saat ini pembangunan infrastruktur sangat berhasil yang akan menumbuhkan berbagai pusat pertumbuhan baru secara nasional.
Terkait dengan fenomena yang terjadi pada Startup, John mengatakan, diperlukan strategi investasi agar tak salah menyalurkan pendanaan. Hal itu yang Capital Venturra sebagai lengan investasi digital Lippo Group.
Menurut dia sewaktu banjir investasi digital, Lippo Group tidak tergiur mengikuti arus, melainkan taat pada dua prinsip utama. Pertama, investasi yang dilakukan Lippo Group mengarah kepada startup yang digawangi para inovator yang visioner.
“Artinya, mereka mengembangkan perusahaan rintisan tidak sekadar melirik valuasi dan investasi, melainkan berniat menciptakan perubahan yang besar dan berkesinambungan,” ungkap John.
Kedua, dari karakter para pendiri usaha rintisan akan tampak visi untuk memberikan solusi bagi kehidupan sosial. “Semangat ini akan membuat usaha rintisan selalu relevan, selalu menghadirkan solusi dan inovasi,” kata John.
Dia menambahkan, fenomena bubble yang saat ini terjadi merupakan ujian bagi para pelaku startup sekaligus investor. “Bagi investor, di tengah ketidakpastian seperti saat ini, cenderung main aman apalagi sewaktu The Fed menaikkan suku bunga. Sedangkan bagi para pelaku startup, harus pintar mencari mitra investor yang bisa berkolaborasi secara strategis,” tutur John.
Editor: Jeanny Aipassa