Enam Kisah Bisnis Inspiratif, Nomor Tiga Sevel
JAKARTA, iNews.id – Tahun 2017 telah berlalu. Berbagai kisah bisnis yang inspiratif terjadi sepanjang tahun lalu. Tak melulu soal keberhasilan, cerita kegagalan pun bisa menjadi inspirasi.
Pakar pemasaran, sekaligus Managing Partner Inventure, Yuswohady, merangkum kisah-kisah bisnis inspiratif sepanjang 2017. Berikut di antaranya:
1. The End of Department Store Era: The Retail Story
Tahun 2017 peritel tradisional mulai berguguran. Dua kekuatan disruptif menyapu sektor ritel sekaligus. Pertama, disrupsi digital yang memicu munculnya e-commerce yang kini bergerak menuju mainstream. Tiga nilai (convenience, cost, time-efficient) e-commerce mampu mengubah perilaku belanja konsumen ke ranah online.
Kedua, pergeseran konsumen dari good-based consumption ke experience-based consumption menjadikan milenial pelan-pelan mengurangi belanja barang-barang yang dijual di department store, seperti baju, sepatu, atau tas.
Tragedi ritel ini menyadarkan kita, tsunami disrupsi telah di depan mata dan tak bisa dihindari lagi. Peritel tradisional harus mentransformasi diri dengan mengusung mengusung konsep leisuretail dengan mencangkokkan leisure ke dalam model bisnis mereka. Peritel juga harus go digital.
2. Consumer Disruption: The Millennials Story
Populasi milenial kini hampir 35% dari penduduk Indonesia dan dalam lima tahun ke depan akan menjadi kekuatan pasar dominan di Tanah Air. Milenial memiliki nilai-nilai dan perilaku yang berbeda dengan generasi sebelumnya.
Consumer Goods: Konsumsi milenial terhadap barang-barang konsumsi semakin menurun.
Properti: Milenial cenderung mencari rumah berukuran kecil dan fungsional-minimalis dengan perabot dan perlengkapan rumah tangga yang minimal pula. Karena rumah di tengah kota harganya tak terjangkau, rumah di pinggir kota dengan aksebilitas baik menjadi solusi.
Bank: Milenial merasa kewajiban cicilan KPR, KKB, atau tagihan kartu kredit kian mengungkung kebebasan hidup mereka. Pertanyaannya: ditambah dengan kehadiran fintech yang mendisrupsi sektor ini, akankah memang bank semakin tak relevan lagi di era generasi milenial?
Transportasi: Keinginan milenial membeli mobil/motor semakin menyusut. Alasannya ada dua. Pertama, memiliki mobil sendiri merepotkan dan tidak ramah lingkungan. Kedua, mereka lebih memilih sharing lifestyle dengan menggunakan jasa transportasi online.
Consumer Electronic/Gadget: Era bulan madu membeli/memiliki gadget telah lewat. Puncaknya terjadi pada saat Nokia, disusul Blackberry, dan terakhir Apple/Samsung mencapai masa jaya. Kala itu konsumen antre untuk mendapatkan gadget terbaru. Kini milenial membeli/memiliki perangkat elektronik/gadget seperlunya, tidak berlebihan seperti generasi sebelumnya.
Retail: Dampaknya kini sudah terasa, pusat-pusat perbelanjaan yang sebatas menawarkan barang dan tidak menawarkan experience/leisure semakin ditinggalkan konsumen milenial. Sebaliknya, mal-mal modern yang menyediakan coffee shop, dine-out resto, atau hiburan justru tumbuh luar biasa.
3. Innovation Fallacies: The Sevel Story
Tepat 30 Juni 2017 Seven Eleven (Sevel) menghentikan operasinya. Banyak analisis mengupas kegagalan Sevel. Namun, Yuswohady melihat kejatuhan Sevel dari sisi disiplin inovasi. Dia menyebutnya innovation fallacies atau pemahaman umum yang keliru mengenai inovasi.
Awalnya Sevel adalah innovation hero karena telah melakukan inovasi terobosan di tengah industri ritel nasional paceklik ide-ide bisnis segar sejak duo Indomaret-Alfamart menghegemoni pasar ritel. Namun, kesuksesan awal membuat Sevel kendor disiplin inovasinya. Sevel tak melakukan inovasi-inovasi lanjutan untuk menyempurnakan konsep bisnisnya.
Inovasi bukanlah lomba lari cepat 100 meter, tapi lomba lari maraton. Maksudnya, setelah inovasi besar terwujud, diperlukan inovasi-inovasi kecil dalam kurun waktu yang panjang.
4. Focus on Ecosystem: The Go-Pay Story
Metamorfose Go-Jek dari transportation company menjadi financial services company merupakan model kesuksesan digital champion di Indonesia yang patut dicatat.
Awalnya Go-Jek memecah kebuntuan platform berbagi (sharing platform) yang kemudian menjadikannya pionir industri. Setelah sukses, ia kemudian melebarkan portofolio layanannya ke pasar-pasar lain. Maka meluncurlah layanan seperti Go-Food, Go-Send, Go-Box, Go-Massage, Go-Glam, hingga Go-Tix yang juga menuai sukses.
Go-Pay
Mengembangkan portofolio begitu banyak dan begitu cepat, Go-Jek mampu mengumpulkan crowd pelanggan yang cukup besar. Maka Go-Jek mulai mengembangkan ekosistem bisnisnya dengan menyediakan alat pembayaran untuk para warga di ekosistem bisnis Go-Jek. Maka lahirlah Go-Pay.
Pola sama yang terjadi di bisnis transportasi, diulang untuk bisnis layanan keuangan, yaitu Go-Pay melebarkan sayapnya ke berbagai lini layanan.
Dalam istilah Peter Thiele (Zero to One, 2014), Go-Jek sukses mengeksekusi inovasi 0 ke 1 yang betul-betul baru dan fresh. Dan kemudian melanjutkannya menjadi inovasi 1 ke n dengan penyempurnaan terus-menerus untuk melengkapi kesuksesan.
5. Empire Strikes Back: The Blue Bird Story
Blue Bird bisa menjadi model sukses perusahaan incumbent yang terdampak tsunami digital. Awalnya gusar oleh gelombang uberization. Namun, mereka belajar cepat, beradaptasi, dan kemudian menemukan track-nya kembali.
Platform berbagi telah merevolusi layanan taksi. Ia menawarkan segudang keunggulan: harga yang supermurah, cara pemesanan yang superconvenient, sopir yang piawai karena dibekali teknologi GPS canggih.
Taksi online juga asset-light dan overhead-nya bisa dipangkas serendah mungkin. Ya, karena mereka tak perlu memiliki sopir atau kendaraan. Itu sebabnya mereka bisa memangkas harga semurah mungkin yang membuat taksi konvensional tak mampu bersaing lagi.
My Blue Bird
Akibatnya gampang ditebak, migrasi konsumen pun terjadi dari taksi tradisional ke taksi online. Blue Bird pun lesu karena kehilangan darah karena ditingglkan pelanggannya.
Namun taksi online seperti Grab atau Uber punya kelemahan mendasar karena tak mampu membentuk budaya perusahaan kokoh seperti halnya perusahaan taksi konvensional (cultureless organization).
Membangun budaya di dalam organisasi membutuhkan interaksi personal antarkaryawan, pendekatan emosional, pengakuan dan penghargaan terhadap kontribusi mereka, sikap saling pengertian, spirit kebersamaan dan sense of family, sikap saling percaya, dan sentuhan hati dan cinta. Ini rupanya kekuatan inti Blue Bird selama bertahun-tahun.
Setelah berjuang tiga tahun terakhir, Blue Bird akhirnya menemukan diferensiasi layanannya dibanding taksi online. Blue Bird identik dengan: sopirnya hapal jalan; mobilnya standar dan bersih; atau tak pernah membatalkan order. Hasilnya: Blue Bird tetap menjadi pilihan pelanggan.
Pelajarannya: culture still matters. Di era digital disruption saat ini, manusia dan budaya perusahaan yang kokoh masih merupakan faktor kunci kesuksesan. Technology isn’t everything, people are.
6. Shifting of the Year: The Leisure Story
Sejak tahun 2015 telah terjadi pergeseran pola konsumsi dari nonleisure ke leisure. Pola konsumsi masyarakat Indonesia bergeser dari goods-based consumption menuju ke experience-based consumption.
Studi Nielsen (2015) menunjukkan, milenial yang merupakan konsumen dominan di Indonesia saat ini lebih royal menghabiskan duitnya untuk kebutuhan yang bersifat lifestyle dan experience, seperti: makan di luar rumah, nonton bioskop, rekreasi, juga perawatan tubuh, muka, dan rambut.
Sementara itu di kalangan milenial muda dan Gen-Z kini mulai muncul gaya hidup minimalis. Mereka mulai mengurangi kepemilikian (owning) barang-barang dan menggantinya dengan kepemilikan bersama (sharing). Dengan bijak mereka mulai menggunakan uangnya untuk konsumsi pengalaman seperti: jalan-jalan backpacker, nonton konser, atau nongkrong di coffee shop.
Berbagai fenomena itu semakin meyakinkan maraknya sektor leisure di Indonesia. Bandara ramai melebihi terminal bus. Hotel budget full booked tak hanya di hari Sabtu-Minggu, tapi juga hari biasa. Tiket kereta api selalu sold-out. Jalan tol antarkota macet luar biasa di “hari kejepit nasional”.
Tak hanya itu, kafe dan resto berkonsep experiential menjamur. Pusat kecantikan menjamur. Konser musik, bioskop, karaoke, hingga pijat refleksi tak pernah sepi dari pengunjung. Semuanya menjadi pertanda pentingnya leisure sebagai lokomotif perekonomian Indonesia. Welcome leisure economy.
Editor: Masirom Masirom