Erick Thohir: Kemandirian Industri Baja dalam Negeri Harus Jadi Perhatian
JAKARTA, iNews.id - Impor baja Indonesia masih masih sangat tinggi sebanyak 10,2 juta ton per tahun, padahal produksi baja nasional tercatat meningkat. Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir mengatakan, masifnya importasi baja berdampak pada kemandirian industri baja di dalam negeri.
Sebagai bahan baku utama pembangunan infrastruktur, impor baja justru menguras atau memboroskan uang negara. Pasalnya, nilai yang digelontorkan jauh lebih tinggi dibandingkan menggunakan baja produksi dalam negeri.
"Impor baja di Indonesia kurang lebih 10,2 juta ton. Dan produksi kita terus meningkat, tentu kemandirian industri baja dalam negeri ini juga harus menjadi perhatian, kenapa? Karena baja ini merupakan bahan baku utama dalam pembangunan infrastruktur, pembangunan perumahan, properti, dan lain-lain. Kalau ini impor kan sayang, kita punya pemasukan sebagai negara," kata Erick dalam wawancara bersama iNews, dikutip Jumat (5/8/2022).
Pemerintah, menurut Erick, berupaya menguatkan ekosistem baja nasional melalui integrasi dari hulu dan hilirnya. Untuk mencapai target tersebut, pemerintah mendorong produsen baja milik negara PT Krakatau Steel Tbk (KRAS) untuk meningkatkan sumber daya manusia (SDM), teknologi, hingga kapasitas produksinya.
Itulah mengapa KRAS dan Pohang Iron and Steel Company (Posco) menambah nilai investasi sebesar 3,5 miliar dolar AS atau setara Rp52 triliun. Erick optimistis kerja sama tersebut akan memperkokoh ekosistem baja nasional.
"Nah inilah kenapa yang kemarin dengan Posco, sebenarnya Krakatau Steel dan dan Posco sudah bekerja sama, sudah sangat lama, tetapi kita ingin terintegrasi hulu dan hilirnya karena tadi masih punya potensi baja nasional yang kita masih bisa meningkatkan produksinya, sehingga ketergantungan kita pada baja impor bisa kita kurangi," tutur dia.
Erick mencatat, Posco melihat keberhasilan transformasi Krakatau Steel yang sukses membalikkan kondisi perusahaan dari rugi menjadi untung, dari perusahaan konvensional menjadi modern. Bahkan perusahaan asal Korea Selatan itu mengapresiasi langkah transformasi Krakatau Steel melalui restrukturisasi utang, perbaikan arus kas, efisiensi, dan proses bisnis yang baik.
"Bayangkan bertahun-tahun, delapan tahun rugi terus, tapi tahun lalu Krakatau Steel sudah bisa untung Rp800 miliar," ujarnya.
Bagi Erick, peningkatan kerja sama investasi tak sekadar memperkuat daya saing BUMN, melainkan juga menjadi katalisator pertumbuhan ekonomi secara nasional.
Editor: Jujuk Ernawati