Gandrung Belanja Online, Aprindo Beberkan Nasib Industri Ritel
JAKARTA, iNews.id – Terus berkembangnya perdagangan elektronik (e-commerce) memberi pengaruh besar terhadap kinerja perusahaan ritel. Sektor ritel pun berbenah mengikuti pola konsumsi masyarakat yang memang lebih gandrung berbelanja melalui online (e-commerce).
Ketua Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Roy N Mandey mengatakan, pesatnya perkembangan e-commerce terus memangkas pertumbuhan industri ritel. Di 2014-2015, industri ritel berhasil mencapai pertumbuhan hingga 15 persen.
Sementara di 2016, pertumbuhan ritel terpangkas menjadi 9 persen, dan tahun lalu makin mengalami perlambatan atau hanya terkerek 7,5 persen.
"Ini karena memang pertumbuhan ekonominya lambat sekali. Selain itu, customer behaviour atau perilaku masyarakat berbelanja sudah berubah," ucapnya kepada wartawan dalam konfrensi pers event Internet Retailing Expo (IRX) Indonesia di Hotel Pullman Central Park, Jakarta, Rabu (24/1/2018).
Roy menambahkan, berbelanja dengan mengunjungi pusat perbelanjaan saat ini bukan suatu keharusan. Apalagi, masyarakat untuk berbelanja dalam beberapa tahun terakhir lebih banyak memilih tak langsung membeli.
"Perubahan customer behaviour, mereka ingin lebih cepat dan praktis serta delivery cepat. Dan semua berakar dari internet ini," ucapnya.
Pada tahun 2018 ini, pengusaha ritel tidak berharap muluk-muluk untuk mencapai pertumbuhan. Pasalnya, untuk menggapai angka dobel digit akan sangat sulit karena perilaku belanja masyarakat yang sudah mulai bertransformasi ke arah digital atau online.
"Bisa 9 persen saja sama seperti 2016 sudah syukur atau omzetnya sekitar Rp250 triliun. Kita memang belum bisa mendongkrak pada angka dobel digit," katanya.
Roy sendiri sudah melihat para anggotanya yang kini sudah mulai beralih usaha ke perdagangan elektronik. Hanya segelintir saja yang bertahan dengan penjualan offline. Dan itu terjadi di kabupaten/kota yang masih menganut penjualan konvensional.
"Transforming retail, kita harus transform tidak bisa offline berdiri sendiri. Untuk yang 5 sampai 6 persen masih comfort atau tidak mau memasuki zona online. Karena ini merupakan toko serbaada atau toko kelontong yang sudah turun temurun. Jadi, masih yakin dengan penjualannya," ujarnya.
Dia juga menjelaskan, banyaknya ritel-ritel yang tutup dalam beberapa tahun terakhir karena mencari alternatif bisnis lain yang lebih diinginkan masyarakat. Bisnis-bisnis ini berkaitan dengan kegiatan leisure yang memang sangat pesat perkembangannya.
"Jadi, mereka tutup bukan berarti bangkrut. Mereka ini rata-rata melakukan relokasi melihat perkembangan zaman. Jadi, yang tadinya market saja, kini ditambah ada kafenya. Ya lebih ke arah lifestyle. Apalagi banyak anak muda yang paling hobi leisure," katanya.
Editor: Ranto Rajagukguk