Get iNews App with new looks!
inews
Advertisement
Aa Text
Share:
Read Next : Ralat soal Pemulihan Listrik di Aceh Sudah 93%, Dirut PLN Minta Maaf
Advertisement . Scroll to see content

IESR Prediksi Pasokan Batubara PLN Saat Ini Hanya Cukup untuk Kebutuhan Listrik Selama 20 Hari

Selasa, 04 Januari 2022 - 18:15:00 WIB
 IESR Prediksi Pasokan Batubara PLN Saat Ini Hanya Cukup untuk Kebutuhan Listrik Selama 20 Hari
Proses pengapalan batubara dari conveyor belt ke kapal tongkang (istimewa)
Advertisement . Scroll to see content

JAKARTA, iNews.id - Lembaga riset Institute for Essential Services Reform (IESR) memprediksi pasokan batubara sebesar 3,2 juta ton yang diterima PT PLN (Persero) hanya mencukupi kebutuhan listrik 15-20 hari ke depan. 

Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa, menyebut idealnya PLN harus menerima pasokan batubara sebesar 4 juta-6 juta ton untuk cadangan untuk 20 hari. Namun untuk saat ini, psokan barubara sebesar 3,2 juta ton masih di batas aman. 

"Jadi PLN sudah dapat 3,2 juta ton, itu sebenarnya untuk batas aman PLN 15-20 hari. Paling tidak PLN butuh kira2 4 juta -5 juta ton untuk cadangan untuk 20 hari.Kalau dia sudah dapat 3,2 juta ton, harusnya kondisis sudah gak kritis sih karena pasokan sudah memadai," ujar Fabby, saat di hubungan MNC Portal Indonesia, Selasa (4/1/2022). 

Adapun pasokan batubara yang diterima PLN berasal dari Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Perseroan pun menegaskan bahwa pasokan tersebut diprioritaskan bagi pembangkit listrik dengan level Hari Operasi-nya (HOP) rendah. 

Secara agregat, PLN membutuhkan 120 juta ton batubara sepanjang 2022. Fabby, menghitung untuk mencapai target itu, setidaknya perseroan harus memenuhi 10 juta ton batubara per bulannya. 

"Kalau kita lihat dari sisi produksi batubara, sebulan mencapai 40 juta ton, maka 25 persen (DMO) itu hanya disisihkan kira-kira 10 juta ton, ini sesuai dengan kebutuhan PLN bulanan," ungkap Fabby. 

Meski sudah menerima 3,2 juta ton batubara dari IUP dan IUPK, manajemen PLN mengakui masih terjadi krisis untuk bembangkit listrik saat ini. Fabby menilai, ketidakefektifan kewajiban pasokan atau Domestic Market Obligation (DMO) sebesar 25 persen dari produsen menjadi sebab utamanya.

Menurut Fabby, pemerintah perlu melakukan evaluasi terkait pelaksanaan DMO selama sebulan atau tiga bulan sekali. Langkah itu untuk melihat komitmen produsen batubara terhadap kewajiban pasok sebesar 25 persen yang diatur dalam regulasi. 

Produsen yang tidak memenuhi kewajiban DMO, lanjut dia, pada tiga bulan berikutnya tidak boleh melaksanakan ekspor batubara. Sebaliknya, perusahaan yang memenuhi kewajibannya, diizinkan melakukan ekspor.

Dia menhjelaskan, tidak maksimalnya DMO yang dipasok perusahaan batubara menyebabkan pasokan batubara untuk pembangkit listrik PLN dan pembangkit listrik swasta atau Independent Power Producers (IPP) menjadi terganggu. 

Kendala pasok DMO sendiri didorong oleh disparitas harga antara harga ekspor dan dan DMO. Artinya, IUP dan PKP2B memilih mengekspor batubara lantara nilainya jauh lebih besar dibandingkan harga supply batubara kepada PLN yang dipandang kecil.

"Perusahaan-perusahaan yang tidak memenuhi kewajiban DMO, itu tiga bulan berikutnya tidak boleh ekspor, mungkin pemerintah perlu membuat aturan begitu. Jadi, setiap mereka yang gagal memenuhi 25% itu, kan bisa ketahuan, setiap perusahaan kataknya produksinya 10 juta ton, kan di DMO uda jelas 2,5 juta ton. Kalau 1 juta ton berarti DMO 250.000 ton, itu dievaluasi tiap tiga bulan dia tidak memenuhi, ya untuk tiga bulan berikutnya dia tidak bisa ekspor," kata Fabby. 

Saat ini, sanksi kewajiban pasok diatur dalam Keputusan Menteri (Kepmen ESDM Nomor 139.K/HK.02/MEM.B/2021 tentang Pemenuhan Kebutuhan batubara. Dalam beleid tersebut, sanksi DMO kembali diperketat. 

Sanksi yang dimaksud berupa larangan ekspor, kewajiban pembayaran atau denda, hingga dana kompensasi. Sanksi tersebut akan dikenakan, bila tidak memenuhi ketentuan DMO 25 persen bagi penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum dan kepentingan sendiri, dan bahan baku atau bahan bakar industri.

Di lain sisi, Fabby menyarankan agar pemerintah perlu merevisi regulasi DMO. Karena pangkal masalah krisis batubara juga terletak pada regulasi. Pasalnya, regulasi saat ini membuat disparitas harga antar DMO dan non DMO. 

"Selain masalah teknis yang berkaitan dengan logistik, nilai kalor batubara, dan produksi perusahaan itukan ada faktor disparitas harga antar DMO dan non DMO tinggi sekali. Itu kan membuat penambang melakukan profit tracking, lebih baik kita jual ke luar negeri daripada kita supply ke PLN," tutur Fabby. 

Editor: Jeanny Aipassa

Follow WhatsApp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut