Inggris hingga Australia Atur Konten Internet Cegah Hoaks Berbahaya
WASHINGTON, iNews.id - Negara- negara di dunia memiliki regulasi yang mengatur konten digital internet. Regulasi itu untuk mencegah maraknya hoaks yang berbahaya di dunia maya.
Negara-negara tersebut di antaranya Amerika Serikat, Australia, Inggris, Kanada, dan Singapura. Mereka berupaya memberantas informasi palsu yang merugikan negara.
Presiden AS, Donald Trump baru-baru ini mengeluarkan Perintah Eksekutif untuk memperketat pengawasan terhadap platform media sosial. Langkah itu diperlukan karena media sosial memiliki kekuatan menyensor hingga membatasi komunikasi antar warga.
"Kita tidak bisa membiarkan ini terus terjadi," ujar Trump, dikutip dari AFP, Minggu (31/5/2020).
Media sosial, menurut Trump, harus menjadi platform publik yang netral. Dengan kata lain, media sosial tidak boleh menjadi editor dengan sudut pandang sendiri.
Sementara Singapura telah meloloskan regulasi untuk memberantas hoaks pada Oktober 2019. Menteri Dalam Negeri Singapura, K. Shanmugam mengatakan, regulasi ini bermanfaat dalam mendukung pemerintah melawan hoaks selama pandemi Covid-19.
Snamugam mengatakan, hoaks kini menjadi bagian dari masyarakat modern di era informasi. Namun, pemerintah wajib melawan informasi yang menyesatkan. Dalam kasus Singapura, setiap platform di internet wajib menyebarkan berita yang valid dan harus men-takedown informasi yang tidak benar.
Di Inggris, undang-undang keamanan internet resmi diperkenalkan pada April 2019. Dalam UU ini, media sosial wajib melindungi pengguna dan akan didenda jika gagal memenuhinya.
"Internet memiliki peran luar biasa dalam menghubungkan orang-orang di seluruh dunia, namun sudah lama perusahaan-perusahaan ini tidak cukup melindungi para pengguna, terutama anak-anak kecil dan anak muda, dari konten yang berbahaya," kata PM Inggris saat itu, Theresa May.
Adapun Pemerintah Australia menerapkan aturan yang disebut Criminal Code Amendment (Sharing of Abhorrent Violent Material) Act 2019 pada 6 April 2019. Aturan tersebut diresmikan tak lama setelah terjadi aksi terorisme berlatar supremasi kulit putih di Selandia Baru.
Pemilik situs kini wajib lapor kepada polisi jika kontennya dimanfaatkan untuk aksi pornografi atau kekerasan. Ancaman berat menanti para pemilik konten jika melanggar berupa pidana penjara iga tahun atau denda 10 persen dari omzet perusahaan.
Namun, ada pengecualian untuk beberapa platform dari aturan ini yaitu mesin pencari (search engine) serta layanan chat dan pesan instan seperti WhatsApp.
Di Kanada, Panel Legislatif Penyiaran dan Telekomunikasi Kanada baru saja merilis laporan yang berisi 100 rekomendasi mereformasi lanskap industri penyiaran dan telekomunikasi.
Salah satu rekomendasi dari panel yaitu perusahaan over-the-top (OTT) harus mengutamakan konten-konten lokal di platform mereka. Selain itu, lembaga seperti Komisi Telekomunikasi (CRTC) diberikan wewenang untuk mengawasi perusahaan OTT sekaligus memaksa agregator berita seperti Yahoo memprioritaskan media-media lokal yang terpercaya sebagai sumber berita.
Rekomendasi itu akan menjadi masukan bagi pemerintah yang tengah membuat regulasi baru di industri penyiaran dan telekomunikasi. Menteri Kebudayaan Kanada, Steven Guilbeault dan Menteri Inovasi Navdeep Bains akan mempelajari rekomendasi-rekomendasi yang dirilis dan akan meresponsnya secepat mungkin.
"Reformasi di sektor industri penyiaran dan telekomunikasi dibutuhkan agar perusahaan konvensional dan digital bisa berkompetisi secara adil. Prioritas utama kami adalah bagaimana memastikan seluruh media yang ada di Kanada bisa mengembangkan konten dan berkontribusi pada sistem di Kanada," ujar mereka.
Editor: Rahmat Fiansyah