Kaleidoskop 2022: Rontoknya Mata Uang Dunia akibat Lonjakan Dolar, Apa Kabar Rupiah?
JAKARTA, iNews.id - Tahun ini, nilai tukar mata uang dunia mengalami goncangan hebat akibat lonjakan dolar Amerika Serikat (AS). Kondisi ini dipengaruhi krisis multidimensi global mulai dari konflik geopolitik, inflasi, kenaikan suku bunga, hingga resesi.
Dolar AS yang dinilai sebagai salah satu aset safe-haven mendapat permintaan yang cukup signifikan sejak Februari 2022, seiring pecahnya perang Rusia-Ukraina yang menimbulkan gejolak harga minyak dan sejumlah komoditas lainnya.
Peningkatan tajam dolar membuat sejumlah mata uang utama dunia ikut tertekan, bahkan mencatat sejarah baru yang mencengangkan, yaitu:
- Poundsterling sempat menyentuh level terendah sepanjang masa pada akhir September 2022 di level 1,03 dolar AS per 1 GBP.
- Dolar juga membenamkan Euro ke jurang terendahnya sepanjang masa pada akhir Agustus-Oktober 2022, di level 0,994 dolar AS per 1 EUR.
Mata uang Eropa tersebut kehilangan nilainya karena saat itu muncul kekhawatiran resesi akibat krisis energi. Selain itu, bank sentral AS jauh lebih proaktif daripada Bank Sentral Eropa dalam mengendalikan inflasi.
- Dari daratan Asia, yen Jepang juga terpukul akibat keganasan dollar. Mata uang negeri Sakura itu tenggelam di level terendahnya dalam 32 tahun terakhir menembus 150 yen per dolar AS pada akhir Oktober 2022.
Sebagai negara emerging market, Indonesia pun turut merasakan getaran krisis nilai tukar akibat lonjakan Dolar AS. Hal itu, terlihat dari depresiasi rupiah yang cukup dalam.
Pengamat mata uang Ibrahim Assuaibi sebelumnya mengatakan tensi antara Rusia dan Ukraina menjadi sebab utama harga energi melambung. Lonjakan ini sekaligus mendongkrak inflasi global, yang berimbas terhadap kurs.
"Jadi pada saat terjadi perang di Ukraina, dolar akan menguat tajam, dan ini berdampak terhadap mata uang rupiah. Nah, rupiah pun juga akan melemah," kata Ibra, sapaan akrabnya beberapa waktu lalu kepada MNC Portal Indonesia, dikutip Selasa (20/12/2022).
Jejak Perjalanan Rupiah ke Rp15.000
Melansir data perdagangan di pasar spot, sepanjang 2022 hingga Rabu (21/12/2022), rupiah mengalami depresiasi terhadap dolar sebesar 9,49 persen. Pergerakan mata uang Garuda itu terbentang di level Rp14.249-Rp15.760.
Memulai tahun 2022, Senin (3/1/2022), rupiah berada di kisaran Rp14.249-Rp14.276 per dolar AS. Dalam dua bulan awal, fluktuasi masih terjaga di kisaran maksimal Rp14.315.
Namun, sejak Rusia mengakui Republik Donetsk dan Lugansk pada 21 Februari 2022, sinyal penguatan dolar mulai muncul, sekaligus membuat rupiah bergerak cukup tajam ke bawah hingga akhir Juni 2022 di level Rp14.895, mendekati level psikologisnya.
"Jika krisis terhadap ekonomi dunia muncul, maka dolar AS bisa melonjak secara signifikan," kata Ekonom Commonwealth Bank of Australia, Joseph Capurso, dikutip dari Reuters, Selasa (20/12/2022).
Akhirnya, pada 6 Juli 2022, rupiah resmi menyentuh level Rp15.017, tetapi masih cukup fluktuatif di level Rp14.800-Rp14.900. Hal itu disebabkan adanya optimisme pertumbuhan ekonomi dalam negeri di atas 5 persen selama tiga kuartal berturut-turut yang mengimbangi depresiasi.
Beberapa bulan berjalan, rupiah kembali anjlok dan bertahan di Rp15.000an sejak 21 September 2022. Sejak saat itu, rupiah mulai bergerak di area psikologis baru, menapaki pelemahan di awal kuartal IV 2022.
Adapun jurang paling dalam yang dicapai rupiah tahun ini adalah di level Rp15.760, yang terjadi pada 4 November 2022. Hingga Selasa (21/12/2022), rupiah parkir di level Rp15.605 per 1 dolar AS.

"Salah satu risiko inflasi yang perlu diperhatikan pemerintah saat ini adalah shock pada rupiah saat sentimen risk-off menguat bila resesi terjadi," kata Ibrahim yang akrab disapa Ibra.
Dia mewanti-wanti apabila kenaikan harga tak terbendung, BI diproyeksikan masih akan mengerek suku bunga acuan hingga 6 persen pada 2023.
"Ini akan mengulang sejarah 2018, saat suku bunga mencapai 6 persen di akhir 2018, perlambatan ekonomi cenderung terjadi pada 2019," tutur Ibra.
Editor: Jeanny Aipassa