Get iNews App with new looks!
inews
Advertisement
Aa Text
Share:
Read Next : Purbaya Temukan 4 Modus Penyelundupan Komoditas Ekspor, Apa Saja?
Advertisement . Scroll to see content

Kemenperin Dorong Hilirisasi Industri Petrokimia untuk Capai Target Ekspor Rp366 Triliun

Sabtu, 06 Mei 2023 - 14:01:00 WIB
Kemenperin Dorong Hilirisasi Industri Petrokimia untuk Capai Target Ekspor Rp366 Triliun
RI bakal jadi produsen petrokimia no 1 di ASEAN. Foto: MNC Media
Advertisement . Scroll to see content

JAKARTA, iNews.id - Kementerian Perindustrian (Kemenperin) terus mendorong hilirisasi industri petrokimia untuk menopang industri manufaktur, dan mencapai target ekspor sebesar 25 miliar dolar Amerika Serikat (AS) atau Rp366,870 Triliun di tahun ini. 

Hingga Oktober 2022, kinerja ekspor industri petrokimia menunjukkan capaian yang gemilang, yakni sebesar 18,5 miliar dolar AS atau naik 20 persen dibandingkan periode sama tahun lalu. Di tahun 2023, ditargetkan kinerja ekspor industri petrokimia mencapai 25 miliar dolar AS atau Rp366,870 triliun.

Terkait dengan itu, Kemenperin terus mendorong hilirisasi industri petrokimia sebagai langkah strategis karena dapat menghasilkan bahan baku primer untuk menopang banyak industri manufaktur hilir penting seperti tekstil, otomotif, mesin, elektronika, dan konstruksi.
 
Adapun, kapasitas produksi petrokimia nasional saat ini berkisar 7,1 juta ton per tahun (2022), sementara impor produk kimia yang juga masih sangat signifikan, yaitu mencapai 4,6 juta ton pada 2020.
 
PT Pertamina (Persero) sudah memasang target untuk menaikkan kapasitas produksi petrokimia dari sekitar 1,66 juta ton pada 2022, menjadi 8 juta ton pada 2027 melalui sejumlah proyek. 

"Hal ini sejalan dengan target pemerintah untuk membuat Indonesia menjadi negara produsen petrokimia nomor 1 di ASEAN," kata Ketua Umum Federasi industri kimia Indonesia, Suhat Miyarso, dikutip Sabtu (6/5/2023).  
 
Dia mengungkapkan, kebutuhan petrokimia nasional terus meningkat seiring dengan pertumbuhan industri manufaktur dan sektor konstruksi di Indonesia. Beberapa faktor seperti permintaan pasar, produksi petrokimia domestik, harga bahan baku, dan persaingan global juga dapat mempengaruhi volume kebutuhan petrokimia di Indonesia.
 
Menurut dia, industri petrokimia, yang masuk kategori industri hijau, memegang peranan penting untuk perkembangan industri dalam negeri, karena berbagai produk petrokimia diperlukan untuk produk-produk sektor hilir. 

"Mulai dari furniture rumah tangga, pipa air, kabel listrik, kemasan makanan dan minuman, otomotif, perlatan medis, perlengkapan pertanian, hingga alat perikanan, semuanya membutuhkan produk petrokimia," ungkap Suhat.

Klaster industri petrokimia memang menjadi salah satu prioritas pemerintah Indonesia dalam program industri 4.0. Sektor itu turut menjadi fondasi industri nasional seperti tertuang dalam Peraturan Pemerintah nomor 14 tahun 2015 tentang Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional (RIPIN) 2015-2035.

Presiden Joko Widodo pun telah menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) No. 74/2022 tentang Kebijakan Industri Nasional 2020-2024, yang mengatur mengenai sasaran pembangunan industri migas. 

Melalui Perpres tersebut, pemerintah menargetkan untuk melakukan peningkatan pemanfaatan, penyediaan, dan penyaluran kimia berbasis migas dan batu bara. Pasalnya, Nafta atau Naphtha, sebagai bahan baku utama industri petrokimia masih sepenuhnya diimpor sebesar 2,5 juta ton tiap tahunnya.
 
Untuk itu, pemerintah akan melakukan pembangunan refinery Nafta dan kondensat untuk bahan baku pengolahan olefin aromatik dan poliolefin, yang merupakan senyawa organik yang terdiri dari satu atau lebih unit monomer olefin dan memiliki sifat elastis, tahan terhadap bahan kimia, ringan, dan lazim digunakan dalam produk industri maupun barang konsumen.
 
Pembangunan refinery Nafta tersebut nantinya akan memiliki kapasitas masing-masing 300.000 barel per hari untuk mengimbangi peningkatan produksi olefin (dihasilkan dari proses pemisahan minyak bumi atau produksi gas alam, serta sintesis kimia dan dapat digunakan sebagai bahan baku dalam produksi polyolefin) dalam negeri.

Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) pun turut mendukung upaya pemerintah memberikan insentif bagi industri petrokimia di daerah penghasil gas. 

Langkah ini bertujuan untuk mendorong monetisasi potensi gas bumi. Pasalnya, bahan baku utama dalam produksi petrokimia adalah minyak bumi dan gas alam yang ditemukan di ladang-ladang minyak dan gas. 

Industri hulu migas berperan untuk mengekstraksi minyak bumi dan gas alam dari bawah permukaan bumi dan mengolahnya menjadi produk yang siap digunakan. 
 
Dalam sebuah diskusi baru-baru ini, Kepala Divisi Monetisasi Minyak dan Gas Bumi SKK Migas Agus Budianto mencontohkan insentif yang diberikan pemerintah untuk mendukung penyerapan gas oleh industri petrokimia adalah insentif untuk gas yang sedang dikembangkan oleh Kontraktor Kontrak Kerja Sama (Kontraktor KKS) Genting Oil Kasuri Pte Ltd di Papua Barat.

Dengan insentif yang diberikan pemerintah, Kontraktor KKS (sebagai produsen) dapat menyesuaikan harga gas dari 5 dolar AS per MMBTU menjadi 4 dolar AS per MMBTU sehingga dapat diserap oleh produsen pupuk dan metanol yang akan beroperasi di wilayah tersebut.

Editor: Jeanny Aipassa

Follow WhatsApp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut