Kementerian ESDM Rilis Aturan Perdagangan Karbon Pembangkit, Ini Tujuannya
JAKARTA, iNews.id - Kementerian Energi Sumber Daya dan Mineral (ESDM) merilis aturan terkait perdagangan karbon, yakni Peraturan Menteri ESDM Nomor 16 Tahun 2022 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon Subsektor Pembangkit Tenaga Listrik. Aturan ini merupakan tindak lanjut dari Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 98 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon untuk Pencapaian Target Kontribusi yang Ditetapkan secara Nasional dan Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca dalam Pembangunan Nasional.
Dalam aturan tersebut dijelaskan bahwa perdagangan karbon adalah mekanisme berbasis pasar untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) melalui kegiatan jual beli unit karbon.
Kemudian, Persetujuan Teknis Batas Atas Emisi GRK Pembangkit Tenaga Listrik (PTBAE) adalah persetujuan teknis yang ditetapkan oleh Menteri ESDM melalui Direktur Jenderal (Dirjen) Ketenagalistrikan paling lambat pada 31 Januari 2023.
Plt Dirjen Ketenagalistrikan Kementerian ESDM, Dadan Kusdiana menuturkan, aturan itu disusun untuk memastikan penurunan gas emisi rumah kaca.
"Tujuan utamanya adalah memastikan bahwa terjadi penurunan emisi gas rumah kaca. Jadi, menurut saya nanti outcome-nya harus ada, riil penurunannya, kita tidak ingin ini nanti menjadi tukar menukar dokumen saja nanti, yang lebih membeli kepada yang kurang, begitu ditotal balance nol saja di situ," ujar Dadan di Kantor Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan, Jakarta, Selasa (24/3/2023).
Dadan menambahkan, pihaknya telah menetapkan PTBAE tahun ini. Dia meyakini, batasan itu dapat diikuti oleh semua pembangkit.
"Batasannya sudah kita tetapkan di situ, saya sangat yakin tahun ini semuanya bisa. Angkanya angka-angka yang friendly dari sisi penurunannya," ucapnya.
Dia menegaskan, regulasi ini bersifat wajib untuk dijalankan semua pelaku usaha.
"Lalu bagaimana kalau tidak bisa memenuhi? karena dalam permennya ini sanksinya relatif normal. Kan kita sekarang jamannya digital, semua akan tercatat, saya misalnya harusnya 100 hanya bisa 80," katanya.
"Nah saya akan tawarkan dua di di belakangnya. yang pertama yang tahun berikutnya dikurangi 20 karena masih punya hutang 20 kalau enggak kita bawa aja terus, kita catat kita akan catat apakah nanti dikonversi menjadi pajak karbon. Misalkan, karena kan sekarang belum siap," sambungnya.
Editor: Aditya Pratama