KKP Catat Impor Perikanan Turun hingga 35 Persen pada Semester I 2024

JAKARTA, iNews.id - Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mencatat nilai impor perikanan mengalami penurunan pada paruh pertama tahun 2024. Tak tanggung-tanggung, persentase penurunan mencapai 35,15 persen dibanding periode yang sama tahun sebelumnya.

Direktur Jenderal Penguatan Daya Saing Produk Kelautan dan Perikanan, Budi Sulistiyo menuturkan, KKP berhasil menekan nilai impor perikanan menjadi 219,54 juta dolar AS. Penurunan ini membuat neraca perdagangan perikanan surplus 2,49 miliar dolar AS atau Rp40,67 triliun.

Baca Juga

Menkop Ferry Pastikan Pembangunan Kopdes Merah Putih Selesai Tepat Waktu

Nilai surplus tersebut pun meningkat 6,2 persen dibanding periode yang sama tahun sebelumnya. Untuk komoditas impor sendiri, ujarnya, ada yang tujuannya untuk bahan baku industri dan ada juga untuk kebutuhan hotel, restoran, katering dan pasar modern (horekapasmod).

“Penurunan impor ini mengukuhkan Indonesia sebagai negara net eksportir produk perikanan. Untuk yang horeka ini adalah ikan-ikan yang tidak ada di Indonesia, seperti ikan salmon, trout dan ikan kod," ucap Budi dalam Konferensi Pers Kinerja Semester I KKP di Kantor KKP, Jakarta, dikutip, Senin (29/7/2024).

Baca Juga

Ekspor Produk Perikanan ID Food Capai 573 Ton, Jangkau 11 Negara

Budi menambahkan, penurunan ini dipengaruhi oleh pasokan ikan hasil tangkapan nelayan dalam negeri yang mampu memenuhi kebutuhan industri pengolahan dan pemindangan. Ikan yang pasokannya cukup banyak yakni ikan-ikan pelagis seperti ikan kembung.

“Kami mendorong pelaku pengolahan dan pemindangan untuk memprioritaskan ikan hasil tangkapan nelayan kita sendiri. Dari awal tahun sampai Mei pasokan kita cukup, sehingga diprioritaskan menggunakan produk hasil tangkapan dalam negeri. Ikan impor itu hanya untuk mengisi ketika tak ada bahan baku,” katanya.

Sementara, kinerja ekspor perikanan dari Januari hingga Juni nilainya mencapai 2,71 miliar dolar AS. Negara tujuan utama pengiriman yakni Amerika Serikat 889,39 juta dolar AS, disusul China 556,04 juta dolar AS, Asean 353,93 juta dolar AS, Jepang 285,47 juta dolar AS, dan Uni Eropa 193,35 juta dolar AS.

Editor: Aditya Pratama