Masyakarat Disebut Masih Sulit Punya Rumah meski Ada Subsidi, Ini Penyebabnya
JAKARTA, iNews.id - Ketua Umum Real Estate Indonesia (REI) Paulus Totok Lusida sepakat dengan kebijakan pemerintah yang menaikkan batas atas harga rumah subsidi. Hal ini menyusul kenaikan harga material, kurs dolar, dan inflasi yang saat ini juga mengalami kenaikan.
Namun demikian, Totok menilai kebijakan ini dirasa tidak akan berdampak luas pada komitmen pemerintah mengatasi backlog perumahan yang saat ini masih berjumlah 12,7 juta. Pasalnya, syarat yang cukup rumit diberikan pemerintah kepada masyarakat.
Teranyar, kenaikan harga rumah subsidi diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 60 Tahun 2023 tentang Batasan Rumah Umum, Pondok Boro, Asrama Mahasiswa, dan Pejalar, Serta Rumah Pekerja yang Dibebaskan dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.
Rumah umum yang diatur dalam regulasi tersebut merupakan rumah yang diselenggarakan untuk memenuhi kebutuhan bagi orang pribadi warga negara Indonesia yang termasuk dalam kriteria masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Sehingga diharapkan melalui regulasi itu diharapkan bisa menjadi insentif bagi MBR untuk memiliki rumah.
Namun demikian, Totok menyoroti terkait persyaratan bagi masyarakat MBR yang bisa menikmati regulasi tersebut. Pasalnya, beberapa persyaratan dinilai belum cukup tepat untuk diterapkan saat ekonomi baru mulai pulih pascapandemi Covid-19.
"Harus ada syarat, harus ada SPT tiga tahun terakhir, gaji harus lapor pajak, lah kalau dia baru sekarang hari ini lapor pajak, boleh tidak ngambil rumah? Jadi, kalau sudah waktunya dipermudah jangan dipersulit," ujar Totok kepada iNews.id, Minggu (25/6/2023).
Pada Pasal 2 ayat (13) disebutkan, masyarakat yang berpenghasilan rendah untuk bisa memanfaatkan regulasi tersebut, pertama harus telah menyampaikan surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan 2 (dua) tahun pajak terakhir dan surat pemberitahuan masa pajak pertambahan nilai 3 (tiga) masa pajak terakhir yang menjadi kewajibannya bagi orang pribadi yang memiliki nomor pokok wajib pajak; dan kedua tidak memiliki utang pajak.
Totok memahami bahwa persyaratan pelampiran bukti pajak itu memang cukup baik untuk meningkatkan ketaatan wajib pajak masyarakat. Namun menurutnya, masih banyak opsi lain untuk menarik pajak masyarakat, selain menempelkan kepada masyarakat yang sedang membutuhkan.
"Belum jadi katalis positif buat pengembangan, karena persyaratannya complicated, jadi benar, saya tahu, maksudnya supaya jadi wajib pajak, tapi jangan dibuat syarat, yang penting syaratnya hanya NPWP saja kan sudah," ucapnya.
"Saya sudah mengajak zoom (diskusi) terkait petunjuk pelaksanaannya atau teknisnya, apabila ada pekerja yang baru bekerja yang baru enam bulan, terus minta SPT tiga tahun, kemarin Covid saja banyak yang di PHK, terus dia tidak boleh ngambil rumah," sambungnya.
Editor: Aditya Pratama