NJOP di DKI Jakarta Naik Bikin Harga Tanah Melonjak
JAKARTA, iNews.id – Pemerintah provinsi DKI Jakarta menaikkan Nilai Jual Objek Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (NJOP PBB-P2) sebesar 19,5 persen. Kenaikan tersebut dinilai akan membuat harga tanah di ibu kota melonjak.
Wakil Gubernur DKI Jakarta Sandiaga Uno mengatakan, kenaikan NJOP di bawah kepemimpinannya bersama Gubernur Anies Baswedan telah sesuai dengan nilai pasar. Misalnya di sekitar proyek bangunan mass rapid transit (MRT), seluruh properti yang ada di koridor MRT pastinya akan mengalami kenaikan.
“Nilai properti itu berbanding lurus dengan harga pasar yang ada di lapangan. Jadi itu yang kita akan terus lakukan,” ujar Sandi, kemarin.
Kenaikan NJOP untuk menyesuaikan perbedaan NJOP di berbagai wilayah yang sam-asama merasakan pesatnya pembangunan. Selain itu, perubahan peruntukan perumahan menjadi komersial juga me mengaruhi kenaikan NJOP.
Menurut dia, NJOP selama ini terlalu jauh dengan harga pasar. Itu membuat Pemprov DKI kehilangan potensi PBB dan BPHTB. Kendati demikian, kenaikan NJOP yang di atas rata-rata hanya terjadi di kawasan menengah ke atas. Bagi masyarakat yang ingin membeli rumah, apalagi rumah pertama untuk segmen tertentu ada rumah dengan DP Nol Rupiah dan itu tidak akan berubah.
“Kita sudah melihat data, 90 persen dari kenaikan NJOP di atas rata-rata hanya di daerah-daerah tertentu yang umumnya masyarakat menengah ke atas. Jadi mayoritas masyarakat, khususnya menengah ke bawah tidak mengalami kenaikan NJOP,” ujarnya.
Mengenai respons sejumlah pengusaha yang keberatan dengan kenaikan NJOP, Sandi menanggapinya santai. Dia mengakui kenaikan harga apa pun akan membuat pengusaha keberatan. Namun, pengusaha nanti diam-diam menaikkan lagi harga ke konsumen. Pemprov DKI sudah berkoordinasi dengan Himpunan Pengusaha dan Kadin (Kamar Dagang dan Industri Indonesia).
“Biasalah pengusaha. Bagi pengusaha itu kan begitu naik harga propertinya mereka yang menikmati juga,” ucapnya.
Sebelumnya Pemprov DKI menerbitkan Pergub Nomor 408/2016 tentang Penetapan NJOP 2017 pada akhir 2016 lalu. Namun, dalam laman jdih.jakarta.go.id tidak ditemukan daftar NJOP 2017.
Kini berdasarkan Pergub Nomor 24/2018 tentang Penetapan NJOP dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan yang diundangkan 4 April 2018, kenaikan NJOP bervariasi. Di Jakarta Utara masih ada lahan yang harga NJOP-nya masih Rp916.000 seperti di Jalan Kamal Muara. Bergeser sedikit ke Jalan Gardenia, NJOP sudah mencapai Rp18,37 juta.
Anggota Komisi D DPRD DKI Jakarta Bestari Barus menuturkan, pada prinsipnya, kenaikan NJOP di kawasan komersial adalah hal biasa dilakukan. Namun, Pemprov DKI harus mengevaluasi terlebih dahulu kenaikan NJOP di wilayah yang terdampak. Banyak pemilik rumah atau lahan yang sudah pensiun atau mengalami kesulit an ekonomi dan lainnya untuk membayar PBB akhirnya masyarakat terbebani.
“Dampak kenaikan NJOP itu kan menaikkan pembayaran PBB. Ini harus diinventarisasi dulu. Pensiunan dan warga berpenghasilan rendah perlu ada kekhususan,” ujarnya.
Dia berharap hasil dari pendapatan kenaikan PBB dapat dialokasikan ke masyarakat sekitar wilayah yang mengalami kenaikan sehingga warga atau wajib pajak merasakan dampaknya.
“Kami harap pemerintah daerah mengalokasikan di wilayah mana pajak dipungut. Jangan sampai terjadi ketimpangan dialokasikan ke tempat lain. Itu harus berkeadilan. Warga mau bayar pajak apabila ada dampak yang dirasakan,” ucap Bestari.
Pengamat perkotaan dari Universitas Trisakti, Nirwono Joga, meminta Pemprov DKI mengevaluasi kembali kenaikan NJOP dan harus ditinjau ulang sesuai peruntukan tata ruang. Kenaikan tidak bisa dilihat dari kawasan yang sudah terkenal elite dan mahal seperti Menteng dan Kebayoran, sementara warganya banyak sudah pensiun sehingga tidak mam pu membayar dan terpaksa menjual lalu yang membeli pengusaha.
“Setelah dibeli rumah tersebut diubah menjadi tempat usaha kafe atau restoran dan lainnya. Jangan sampai karena NJOP yang tinggi sehingga fungsi bangunan berubah dan kawasan peruntukan berubah,” ujar Nirwono.
Dia juga menyoroti hasil penggunaan pajak karena penggunaannya harus fokus untuk penanganan masalah utama, seperti penataan kampung kumuh, peremajaan kawasan terpadu, relokasi warga tepi sungai/situ/waduk, pemba ngunan rusunawa di kawasan terpadu, subsidi biaya pendidikan dan kesehatan, serta penyandang disabilitas. (Bima Setiyadi)
Editor: Rahmat Fiansyah