Outlook 2023: Begini Jurus RI Hadapi Potensi Menurunnya Ekspor
JAKARTA, iNews.id - Tahun 2023 diramalkan menjadi tahun yang gelap akibat ancaman resesi global. Meningkatnya risiko ketidakpastian global diwaspadai oleh seluruh negara, termasuk Indonesia.
Meskipun perekonomian Indonesia diprediksi cukup tangguh terutama dari sisi kinerja ekspor yang melesat, tekanan inflasi global yang berkepanjangan di kawasan Eropa dan Amerika Serikat patut diwaspadai.
Apalagi purchasing Managers Index (PMI) manufaktur global sudah mulai berada pada zona kontraksi dalam dua bulan terakhir.
Seperti diketahui, di tengah tren melambatnya perekonomian global, kinerja ekspor Indonesia tercatat secara riil tumbuh 21,6 persen (yoy) di kuartal III 2022, sementara impor tumbuh 23 persen (yoy).
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan neraca perdagangan Indonesia pada November 2022 kembali mencatat surplus, yakni 5,16 miliar dolar AS. Kinerja positif tersebut melanjutkan surplus neraca perdagangan Indonesia sejak Mei 2020, atau selama 30 bulan berturut-turut.
Kepala Badan Kebijakan Perdagangan (BKPerdag) Kementerian Perdagangan, Kasan, menyebutkan bahwa pemerintah saat ini mewaspadai potensi menurunnya ekspor di tahun 2023 meskipun Indonesia masih berada dalam posisi aman. Terlebih, rilis Badan Pusat Statistik (BPS) baru-baru ini melaporkan bahwa ekspor Indonesia mulai menunjukkan perlambatan.
"Inflasi juga otomatis kan menurunkan daya beli. Kita itu kalau inflasi kan daya beli kita jadi berkurang. Kalau daya beli berkurang, demand berkurang juga. Impact-nya tentu akan terhadap potensi dari menurunnya ekspor kita, meski semua negara sekarng juga menghadapi situasi hampir sama," ujar Kasan kepada MNC Portal Indonesia, dikutip di Jakarta, Senin (19/12/2022).
Dia menyebutkan, laporan Bank Dunia menunjukkan bahwa trade openness atau keterbukaan perdagangan Indonesia cenderung stagnan, tidak sebesar negara-negara ASEAN.
"Saya setuju angkanya memang tidak sampai 50 persen, hanya di kisaran 20-30 persen. Artinya, trade itu kan langsung, hubungan keterbukaan dengan luar. Kalaupun di luar itu terjadi penurunan, termasuk dalam trade, otomatis kita terimbasnya tergantung besaran openness itu tadi," ungkap Kasan.
Kasan mengatakan bahwa jika guncangan di luar itu cukup besar, akan cukup besar dampaknya ke negara-negara yang trade opennessnya besar. Adapun negara-negara dengan trade openness besar di atas 50 persen misalnya Singapura, Thailand, Malaysia, Vietnam.
"Otomatis kalau gangguan di luar terjadi, mereka akan merasakan dampak yang jauh lebih besar. Jadi kita blessingnya di situ, tapi bukan berarti kita diam saja," ungkap Kasan.
Dalam hal ini, pemerintah sudah mewaspadai inflasi tinggi yang kemudian mengarah ke krisis dan berkurangnya permintaan. Namun, ada negara-negara yang di luar yang negara tradisional tujuan ekspor yang memiliki potensi untuk Indonesia.
"Makanya kita diversifikasi (pasar ekspor) ke negara yang tidak mengalami krisis seperti krisis di Eropa dan Amerika Serikat (AS). Kayak India sekarang kan ekonominya tumbuh di tengah situasi yang diwanti-wanti akan krisis. India, Asia Selatan, Afrika, Timur Tengah, itu kan masih ada yang potensial untuk kita kompensasi dari terjadinya kemungkinan potensi pelemahan ekspor ke negara-negara tradisional tadi," tutur Kasan.
Dia mengungkapkan, Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan sudah mulai menargetkan ekspor ke negara-negara non tradisional, sehingga jika tahun depan ekspor menurun, dampaknya tidak terlalu tinggi.
"Tapi secara kalkulasi minimal saja, kita ini kan openness-nya kan cuma 25 persen. Kalau bisa kita tekan tidak sampai 25, bisa cuma 10 persen, otomatis kita tetap akan turun tapi hanya melambat," ujar Kasan.
Sementara Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati, mengatakan perlu ada upaya untuk memastikan terjaganya pertumbuhan ekspor nasional di masa yang akan datang. Hal ini mengingat kondisi ekonomi global yang cukup dinamis dan cenderung memberikan risiko terhadap berbagai perkembangan yang terjadi.
“Dengan kondisi dunia yang sedang sibuk menekan inflasi antara lain, yang diwujudkan dengan kenaikan suku bunga, akan menyebabkan kelemahan dari kinerja ekonomi negara-negara destinasi ekspor kita. Sehingga kita juga harus mewaspadai pengaruhnya kepada kinerja ekspor kita ke depan,” ujar Sri Mulyani dalam keterangannya dikutip, Kamis (29/12/2022).

Terkait dengan itu, Menkeu menyuntikan dana Rp1 triliun ke Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) untuk mewaspadai pelemahan ekspor di 2023. Suntikan dana tersebut dimaksudkan agar LPEI dapat mendukung sektor UMKM dalam kegiatan ekspor.
Seperti diketahui, Di tengah situasi pascapandemi Covid-19 yang melanda Indonesia, sektor UMKM menjadi salah satu tulang punggung perekonomian Indonesia yang tetap bertahan dalam menyangga kebutuhan rantai pasok yang melibatkan jutaan pekerja. Produk UMKM juga menembus pasar ekspor, sehingga menopang kinerja ekspor yang melesat.
Editor: Jeanny Aipassa