Pasokan Gas RI Melimpah tapi Masih Impor 76 Persen LPG, Ini Penyebabya
JAKARTA, iNews.id - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengungkap Indonesia memiliki potensi gas alam yang sangat besar dan menjanjikan untuk dikembangkan. Meski begitu, RI saat ini masih bergantung pada Liquefied Petroleum Gas (LPG) yang diimpor dari negara lain.
Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Dirjen Migas) Kementerian ESDM Tutuka Ariadji menyebut, kondisi ini terjadi karena kapasitas produksi kilang LPG yang dimiliki Indonesia saat ini jumlahnya terbatas, sehingga sebagian besar dari kebutuhan LPG domestik harus dipenuhi dari impor.
Menurut dia, kuota LPG Indonesia per tahunnya dipatok sebesar 8 juta metrik ton. Sementara, kapasitas produksi kilang LPG Indonesia hanya sebesar 1,9 juta metrik ton.
"Memang sekitar 76,9 persen itu memang impor LPG kita. Jadi kondisinya seperti itu. Ke depan kalau kita gunakan gas langsung ya berbeda dengan petroleum gas (LPG). Kita lebih banyak kalau LNG atau gas pipa ke jargas," ujar Tutuka dikutip, Selasa (11/10/2022).
Sebagaimana diketahui, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengatakan, impor LPG Indonesia mencapai Rp80 triliun. Nilai impor itu masih harus disubsidi lagi oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebesar Rp60 triliun hingga Rp70 triliun agar bisa dinikmati masyarakat dengan harga murah.
"Rp80 triliun itu pun harus disubsidi untuk sampai ke masyarakat karena harganya tinggi sekali. Subsidinya antara Rp60 triliun hingga Rp70 triliun," ujar Jokowi.
Sebagai informasi, Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), impor LPG Indonesia dalam satu dekade telah menunjukkan peningkatan tiga kali lipat hingga mencapai 6,34 juta ton pada 2021. Adapun porsi impor LPG pada 2021 telah mencapai 74 persen dari total kebutuhan.
Jumlah ini meningkat hampir dua kali lipat dibandingkan porsi impor LPG pada 2011 yang hanya sebesar 46 persen.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, nilai impor LPG Indonesia pada 2021 mencapai 4,09 miliar dolar AS atau sekitar Rp58,5 triliun, meroket 58,5 persen dibandingkan nilai impor pada 2020 lalu yang tercatat 2,58 miliar dolar AS.
Di sisi lain, Indonesia memiliki "harta karun" energi lainnya yang bisa menggantikan impor LPG ini. "Harta karun" yang dimaksud di sini yaitu gas alam. Gas alam juga bisa dimanfaatkan untuk keperluan memasak bagi konsumen rumah tangga, dengan menggunakan jaringan pipa gas.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Ditjen Migas) Kementerian ESDM, pada 2021 pemanfaatan gas domestik "hanya" 66 persen dari realisasi salur (lifting) gas. Pada 2021, realisasi lifting gas sebesar 981.980 barel setara minyak per hari atau 5.501 juta standar kaki kubik per hari (MMSCFD).
Bila pemakaian gas alam ini digencarkan, maka ini bisa berkontribusi menekan impor LPG dan menghemat devisa negara, sambil mengoptimalkan sumber daya alam di dalam negeri.
Berdasarkan data terbaru Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), status per 31 Desember 2021, Indonesia memiliki cadangan terbukti (proven reserves) gas alam sebesar 34,64 triliun kaki kubik (TCF).
Bila digabungkan dengan data cadangan potensial (potential reserves), berdasarkan data Kementerian ESDM status 1 Januari 2021, total cadangan gas RI mencapai 60,61 TCF.
Jumlah tersebut masih bisa bertambah, terutama karena masih banyak puluhan cekungan hidrokarbon di Tanah Air yang belum dieksplorasi. Dari 128 cekungan (basins), baru 20 cekungan yang sudah menghasilkan minyak dan gas bumi, delapan cekungan telah dibor namun belum berproduksi, dan masih ada potensi 100 cekungan lainnya, di mana 68 cekungan masih belum dibor sama sekali.
Editor: Aditya Pratama