Relaksasi Kredit Tekan Arus Kas, BRI Tak Cemas Tak Dapat Bantuan Pemerintah
JAKARTA, iNews.id - PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk telah merelaksasi kredit 2,6 juta debitur yang terdampak Covid-19 dengan nilai Rp160 triliun. Relaksasi kredit itu berdampak pada arus kas (cashflow) atau likuiditas bank pelat merah tersebut.
Direktur Utama BRI, Sunarso memperkirakan, debitur yang mengajukan relaksasi kredit masih akan terus bertambah. BRI telah menyiapkan rencana untuk mengganti likuiditas yang tergerus.
Dalam program bank jangkar dalam rangka pemulihan ekonomi nasional (PEN), bank yang menjalankan relaksasi kredit bisa mengajukan bantuan likuiditas kepada bank yang ditunjuk sebagai bank jangkar. Likuiditas ini berasal dari penempatan dana pemerintah.
Sunarso mengatakan, BRI kemungkinan besar tidak memenuhi syarat karena bank yang bisa mengajukan harus memiliki penyangga likuiditas makroprudensial (PLN) tak lebih dari 6 persen. Hal ini tercantum dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 64/2020).
"Sekarang bank sebesar BRI dengan aset Rp1.400 triliun, apakah saya selaku dirut akan tega membiarkan bank sistemik ini menyisakan secondary reserve-nya bawah 6 persen? pasti jantung saya sudah tidak kuat. Saya akan jaga agar tetap diatas itu, artinya kami tidak akan dapat bantuan likuiditas itu," kata Sunarso, Selasa (16/6/2020).
Mantan dirut Pegadaian itu telah menyiapkan rencana alternatif untuk menjaga likuiditas BRI. Pertama, BRI menargetkan bisa meraih laba bersih minimal separuh dari tahun lalu.
"Kalau tahun lalu kami meraup laba Rp34,4 triliun, dan kami setor deviden Rp20,6 triliun, maka tahun ini kalau BRI bisa untung separuh dari tahun lalu saja, itu sudah sangat bagus," katanya.
Kedua, kata Sunarso, BRI saat ini memiliki opsi pinjaman dari 13 bank di luar negeri senilai 1 miliar dolar AS, setara Rp14 triliun. Pinjaman dalam bentuk dolar AS dengan bunga 1,9 persen per tahun itu bisa ditarik kapan saja.
Editor: Rahmat Fiansyah