Get iNews App with new looks!
inews
Advertisement
Aa Text
Share:
Read Next : Ketua DPRD DKI Dorong Investigasi Ledakan di SMAN 72 Jakarta, Termasuk Dugaan Bullying
Advertisement . Scroll to see content

Tak Puas Dengar Penjelasan Dirut Krakatau Steel, DPR Akan Investigasi Proyek Blast Furnace

Senin, 14 Februari 2022 - 15:23:00 WIB
Tak Puas Dengar Penjelasan Dirut Krakatau Steel, DPR Akan Investigasi Proyek Blast Furnace
Kantor PT Krakatau Steel Tbk. (Foto: dok iNews)
Advertisement . Scroll to see content

JAKARTA, iNews.id - Komisi VII DPR RI menyatakan akan melakukan investigasi perihal berhentinya proyek Blast Furnace atau peleburan tanur tinggi. Proyek tersebut dihentikan pada 2019, karena merugikan PT Krakatau Steel sebagai pengelolanya. 

Rencana investigasi tersebut diungkap Wakil Ketua Komisi VII DPR, Bambang Haryadi, karena merasa tak puas dengan penjelasan Direktur Utama Krakatau Steel, Silmy Karim, saat rapat dengar pendapat (RDP), pada Senin (14/2/2022). Dalam RDP tersebut, Bambang sampai mengusir Dirut Krakatau Steel dari ruang rapat.

"Kita sepakati bahwa kita akan lakukan investigasi khusus untuk Krakatau Steel," ujar Bambang. 

Blast Furnace menjadi salah satu proyek yang merugikan emiten dengan kode saham KRAS lantaran adanya ketidakseimbangan antara kapasitas fasilitas hulu (ironmaking and steelmaking) dan kapasitas fasilitas hilir (rolling). Hal itu membuat perusahaan harus mengimpor bahan baku. Bahkan, perusahaan memproduksi baja setengah jadi dengan harga yang tinggi dan berfluktuasi.

Kerugian perusahaan belum dipastikan nilainnya. Hanya saja, manajemen KRAS mengakui bila Blast Furnace dilanjutkan, maka proyeksi kerugian perusahaan dalam 5 tahun ke depan mencapai USD2,5 miliar

Ketakutan itulah membuat perusahaan menghentikan operasional Blast Furnace pada 2019 lalu. Keputusan itu pun menjadi sorotan Komisi VII DPR saat ini. Bambang menilai, langkah penutupan pabrik tidak sejalan dengan upaya penguatan industri baja dalam negeri. 

Pasalnya, pada waktu bersamaan penutupan Blast Furnace diikuti oleh impor baja. Bambang menilai langkah KRAS tidak sesuai dengan semangat Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang terus mendoromg penguatan industri baja di Indonesia. 

"Bijih besinya banyak di Indonesia, bertebaran dimana-mana bahkan Indonesia salah satu negara penghasil bijih besi terbesar di dunia. Tapi lucu kita malah impor," kata dia. 

Seyogyanya, lanjut Bambang, Krakatau Steel memiliki semangat yang sama dengan Kepala Negara. Bukan justru berusaha menghentikan industri-industri peleburan milik. 

"Malah ini akhirnya kan trader kan lucu, satu sisi dia bilang industrinya melemah tapi satu sisi untung. Untungnya dari mana kalau bukan dari trader? Ini jangan sampai jadi perusahaan calo ini. Jadi kita ingin dalami, kita ingin investigasi kenapa blast furnace yang ada saat ini harus dihentikan, kalau alasan rugi apakah ruginya sedemikian? apakah lebih merugi mana rugi dihentikan ataukah membuat baru? ini kan sesuatu yang unik," ungkap dia. 

Sebelum diusir dari ruang sidang, Silmy menjelaskan tidak efektifnya proyek Blast Furnace adalah tidak adanya fasilitas basic oksigen furnace. 

Dia menyebut, pada 2008, Krakatau Steel memiliki fasilitas hulu berupa direct reduction plant, slab steel plant, dan billet steel plant. 

Saat itu, manajemen Krakatau Steel berhitung bahwa pengembangan kapasitas baja dimulai dari fasilitas hulu dilakukan dengan memanfaatkan fasilitas eksisting. 

Pertimbanganya, jika perusahaan membangun Blast Furnace dengan teknologi basic oksigen furnace, maka KRAS harus mendemolisi fasilitas eksisting, sehingga diputuskan pembangunan blast furnace dengan integrasi atau modifikasi fasilitas yang ada. 

Hanya saja, dalam proses produksinya, khususnya produksi hot metal dalam menghasilkan slab internal, didapati hasil produksi slab lebih mahal dibandingkan harga slab pasar. Bahkan, lebih tinggi dibandingkan harga jual HRC. 

Silmy menyebut, harga slab produksi mencapai USD742 per ton, harga slab market USD476 per ton, sementara harga HRC market senilai USD629 per ton. 

Atas hasil kajian KPMG, maka dengan perubahan asumsi pada saat perencanaan dan kondisi aktual, kinerja Krakatau Steel akan lebih buruk dengan mengoperasikan Blast Furnace dalam 5 tahun ke depan. Bahkan, emiten diproyeksi mengalami kerugian dan memerlukan modal kerja hingga 2,5 miliar dolar AS. 

"Manajemen saat itu yaitu kami kami ini ya, memutuskan tidak mengoperasikan atas seluruh kajian yg ada termasuk, kejaksaan juga, kita hentikan sambil kuta siapkan fasilitasnya," ungkap Silmy.

Editor: Jeanny Aipassa

Follow WhatsApp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut