Anies-Sandi Matangkan Program DP Rumah 0 Persen, Apa Pendapat BI?
JAKARTA, iNews.id – Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mendatangi Bank Indonesia (BI) untuk mematangkan program rumah dengan uang muka atau down payment (DP) 0 rupiah. Hari ini, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan bertemu langsung dengan Gubernur BI Agus Martowardojo di Gedung BI Jakarta, Jumat (5/1/2017).
Usai pertemuan, Agus menjelaskan bahwa ketentuan umum soal loan to value (LTV) atas kredit kepemilikan rumah (KPR) adalah nilai uang muka minimal 10 persen dari harga rumah. Ketentuan tersebut tidak hanya berlaku di Indonesia, tapi juga di negara-negara lain.
"Kita menjelaskan, sebetulnya konsep kepemilikan rumah itu senantiasa mengikuti loan to value. Kalau LTV ada di kisaran 90 persen, artinya masyarakat yang akan membeli rumah harus bayar DP 10 persen. Kalau membayar 10 persen, kita juga diskusikan di semua negara misalnya Singapura, Hongkong, India, dimana itu semua minimum DP 10 persen," ujar Agus di kantornya, Jakarta, Jumat (5/1/2018).
Baca sebelumnya: Matangkan Program Rumah DP 0 Persen, Anies Datangi BI
Pemerintah daerah, ujar Agus, bisa saja mengintervensi kebijakan dalam rangka menyediakan perumahan yang terjangkau bagi warganya. Namun, dia menegaskan, intervensi tersebut tidak bisa dilakukan untuk masyarakat umum atau mereka yang memiliki penghasilan di atas Rp7 juta per bulan per keluarga.
"Bukan untuk masyarakat umum, hanya untuk Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR). Dan ada kategori bahwa itu program pemerintah. Program pemerintah kan harus ada di APBN atau APBD. Jadi yang saya jelaskan bahwa silakan disusun,” ucapnya.
Persoalannya di Jakarta, lanjut Agus, adalah masyarakat berpenghasilan 7 juta ke bawah hanya mampu membeli rumah maksimal dengan harga Rp240 juta. Sementara harga lahan dan biaya konstruksi di ibu kota sudah cukup mahal untuk membangun rumah tapak sehingga sulit membangun rumah MBR dengan harga maksimal Rp350 juta.
“Kalau mau diubah menjadi rusunami (rumah susun sederhana milik) itu ada satu masalah hukum yang diselesaikan oleh pemda. Kalau mau dijadikan untuk rusunami harus ada perubahan kepemilikan tanah gedung dan lain lain. Nah jadi hal ini yang kita diskusikan,” ucapnya.
Selain itu, Agus juga mengatakan bahwa syarat uang muka yang akan dibebankan kepada pembeli tidak bisa 0 persen atau Rp0 dari harga rumah. Tujuannya supaya calon debitur mempunyai komitmen untuk membayar cicilan tersebut.
"Kita menjelaskan sebetulnya program negara itu ada dan boleh DP itu hanya sampai satu persen," katanya.
Dia pun mendorong supaya pemerintah daerah menyeleraskan program perumahannya dengan pemerintah pusat. Di pusat, kata Agus, pemerintah memberikan subsidi uang muka atau subsidi bunga cicilan dalam skema Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) yang berasal dari APBN.
“Kalau seandainya pemda ingin memberikan pembiayaan kepada MBR itu perlu dibikin program pemda, itu nanti perlu dibuat perda (peraturan daerah). Kalau sudah masuk program pemda, kami tidak keberatan untuk LTV turun, dari 90 persen atau 85 persen ke yang lebih rendah,” tuturnya.
Pemprov DKI Jakarta belakangan mewacanakan rumah DP 0 persen hanya untuk masyarakat berpenghasilan antara Rp7-10 juta. Dengan ketentuan tersebut, langkah pemprov terganjal kecuali mengubah batas penghasilan MBR yang ada dalam Undang-Undang Tabungan Perumahan (Tapera).
Editor: Ranto Rajagukguk