Rupiah Melemah, Ini Dampaknya terhadap Saham Sektor Konsumer
JAKARTA, iNews.id – Cepat atau lambat dampak pelemahan rupiah yang terjadi dalam beberapa bulan terakhir akan berpengaruh terhadap sejumlah perusahaan. Depresiasi rupiah akan memaksa sebagian perusahaan menaikkan harga barang akibat ongkos untuk membeli bahan baku impor yang semakin mahal. Belum lagi perusahaan yang memiliki kewajiban dalam dolar Amerika Serikat (AS).
PT Bahana Sekuritas melakukan riset terhadap beberapa perusahaan di sektor konsumer yang memiliki sensitivitas yang tinggi terhadap pelemahan rupiah. Pada perdagangan Jumat (7/9/2018), rupiah ditutup menguat 0,49 persen di level Rp14.820 per dolar AS. Penguatan itu terbilang terbesar bila dibanding nilai tukar negara lain seperti Ringgit Malaysia menguat 0,01 persen, Peso Filipina terapresiasi sebesar 0,27 persen, dan Baht Thailand menguat 0,05 persen .
Secara year to date nilai tukar rupiah telah melemah 8,54 persen, lebih baik dibanding Rupee India yang telah terdepresiasi hingga 11,31 persen. Dalam riset ini Bahana melihat lima faktor kunci dan juga didasarkan pada pola historis pelemahan rupiah yang cukup signifikan yang terjadi pada 2013.
Saat itu, rupiah terdepresiasi hingga 24 persen dalam waktu tujuh bulan. Kemudian pada 2015 kembali mengalami depresiasi sebesar 11 persen dalam waktu sembilan bulan. Faktor pertama adalah eksposur valuta asing bersih, yakni omzet yang dimiliki oleh perusahaan dikurangi dengan beban biaya.
Kedua adalah faktor kemampuan perusahaan untuk menaikkan harga barang. Berikutnya adalah jumlah hari persedian (inventory days). Selanjutnya, fleksibilitas dalam memotong opex dan yang terakhir dengan melihat eksposur utang valuta asing perusahaan.
"Ada tiga hal mendasar yang bisa kita lihat untuk melihat fleksibilitas perusahaan dalam menyesuaikan harga barang yakni apakah barang tersebut adalah bahan kebutuhan utama, tingkat persaingan dan tersedianya barang penganti atau substitute goods di pasar dan yang terakhir bagaimana tingkat harganya barang itu sendiri,” kata Analis Bahana Sekuritas Deidy Wijaya dalam keterangan tertulisnya, Senin (10/9/2018).
Dengan melihat lima faktor kunci ini dan berkaca pada depresiasi rupiah di masa lalu yang cukup dalam yakni pada 2013 dan 2015, anak usaha Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (BPUI) ini menilai, perusahaan sektor konsumer adalah perusahaan yang cukup tahan uji terhadap pelemahan rupiah. Apalagi bila nilai tukar melemah secara gradual sehingga perusahaan memiliki waktu untuk melakukan penyesuaian harga secara perlahan. Meski tak dimungkiri ada beberapa perusahaan konsumer yang mengalami tekanan.
Dalam riset tersebut anak usaha Badan Usaha Milik Negara (BUMN) ini menilai, PT Gudang Garam (GGRM) Tbk, PT Hanjaya Mandala Sampoerna (HMSP) Tbk dan PT Mayora Indah Tbk adalah tiga perusahaan yang paling resilient terhadap pelemahan rupiah. Pasalnya, GGRM dan HMSP memiliki bahan baku mayoritas dari dalam negeri, hanya sebagian tembakau yang diimpor.
Sementara itu beban perusahaan yang paling besar adalah pembayaran cukai sehingga meskipun nilai tukar rupiah melemah, kinerja kedua perusahaan rokok ini tidak terlalu terpengaruh. Demikian juga halnya dengan MYOR, meskipun sebagian besar bahan baku terpengaruh dengan depresiasi rupiah, namun perusahaan makanan ini juga memiliki penjualan ekspor. Dengan begitu, beban biaya dalam dolar AS yang dikeluarkan bisa di-offset lewat pendapatan dolar yang dihasilkan.
“Masyarakat akan lebih mementingkan kebutuhan untuk rokok dan makanan dibanding barang lain yang lebih bersifat diskresioner, inilah satu faktor yang menguntungkan bagi GGRM, HMSP dan MYOR,” ujar Deidy.
Sementara itu, tiga perusahaan yang lebih sensitif terhadap pelemahan rupiah adalah PT Erajaya Swasembada (ERAA) Tbk, PT Mitra Adiperkasa (MAPI) Tbk dan PT Ace Hardware (ACES) Tbk. Masalah yang dihadapi ketiga perusahaan ini hampir sama, kurang diuntungkan saat nilai tukar terdepreasiasi. Sebab, porsi impor yang cukup besar ditambah perusahaan tidak memiliki banyak ruang untuk memotong opex.
Ditambah lagi, kemampuan perusahaan untuk menaikkan harga cukup terbatas, sehingga akan berpengaruh terhadap permintaan (jika harga dinaikkan terlalu tinggi) atau margin perusahaan bila rupiah terus terdepresiasi.
Editor: Ranto Rajagukguk