Sri Mulyani Sebut Perubahan Iklim Indonesia Butuh Biaya Rp4.215 Triliun
NUSA DUA, iNews.id - Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani memperkirakan upaya penanganan perubahan iklim Indonesia membutuhkan biaya mencapai 281 miliar dolar AS. Nilai itu setara dengan Rp4.215 triliun.
Adapun dana itu untuk membiayai komitmen Kontribusi Determinan Nasional atau Nationally Determined Contribution (NDC) yang telah diterjemahkan menjadi program, kebijakan, dan proyek.
"Bagian terbesar dari pembiayaan ini adalah di sektor energi," kata dia dalam acara Ministerial Fireside Chat Seminar on Financing Transition in ASEAN di Nusa Dua, Badung, Bali, Kamis (30/3/2023).
Karena itu, dalam Presidensi G20 tahun lalu, Indonesia sudah mengumumkan platform Energy Transition Mechanism/ETM yang telah dikembangkan dengan dukungan Bank Pembangunan Asia (Asian Development Bank/ADB) dan internasional.
Sri Mulyani menjelaskan, isu perubahan iklim menjadi perhatian serius di seluruh dunia, tidak terkecuali bagi negara-negara di kawasan ASEAN. Masing-masing negara memiliki komitmen untuk mengurangi emisi CO2 yang kaitannya untuk menangani perubahan iklim melalui NDC.
NDC merupakan dokumen yang memuat komitmen dan aksi iklim sebuah negara yang dikomunikasikan kepada dunia melalui United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC).
Indonesia sebagai negara terbesar di ASEAN juga berkomitmen mengurangi emisi CO2. Caranya, dengan meningkatkan komitmen kontribusi determinan nasional dari sebelumnya 29 persen pengurangan CO2 menjadi 31,89 persen jika menggunakan upaya dan sumber daya sendiri pada 2060.
Jika digabungkan dengan upaya dan dukungan global, komitmen Indonesia turut meningkat dari 41 persen pengurangan CO2 menjadi 43,2 persen pada periode yang sama.
Dia menekankan, Indonesia melakukan upaya dalam penanganan perubahan iklim secara komprehensif. Selain melalui transisi penggunaan energi, pemerintah Indonesia juga mengesahkan regulasi yang mengatur pembentukan pasar karbon dan memperkenalkan pajak karbon.
Pemerintah juga menggunakan regulasi fiskal seperti tax holiday, tax allowance, dan pengecualian pajak pertambahan nilai (PPN) atau bea masuk untuk semua yang terkait dengan sektor energi terbarukan dan berupaya menghentikan penggunaan batu bara.
“Kami mencoba mengatasi masalah ini melalui semua mekanisme yang ada seperti regulasi, instrumen, kolaborasi, serta mekanisme pasar dan nonpasar,” ujarnya.
Editor: Jujuk Ernawati