10 Negara yang Pernah Alami Hiperinflasi, Salah Satunya Indonesia
JAKARTA, iNews.id – Venezuela, negara berhaluan sosialis yang berlokasi di Amerika Selatan tengah menghadapi krisis ekonomi. Inflasi negara tersebut semakin sulit dijinakkan sehingga mengarah kepada hiperinflasi.
Kondisi hiperinflasi ditandai dengan naiknya harga-harga barang dan jasa secara signifikan dan mata uang domestik merosot. Pasalnya, masyarakat tak percaya lagi dengan mata uang negaranya sehingga ingin segera membelanjakan uangnya atau menukar uangnya dengan mata uang yang lebih aman.
Tidak hanya Venezuela, sejumlah negara pernah mengalami situasi seperti ini. Berikut sepuluh di antaranya diambil dari daftar yang disusun ekonom Steve Hanke dan Nicholas Krus:
1. Hungaria (1945-46)
Negara yang berlokasi di Eropa tengah ini masih memegang rekor sebagai negara dengan hiperinflasi paling parah sepanjang sejarah. Dalam kurun waktu Agustus 1945 – Juli 1946, inflasi bulanan di Hungaria mencapai 41,9 triliun persen atau 207 persen per hari. Situasi ini disebabkan Hungaria menjadi medan pertempuran Perang Dunia ke-2.
2. Zimbabwe (2007-08)
Masih ingat mata uang 100 triliun dolar yang pernah diterbitkan Zimbabwe? Mata uang negara Afrika bagian selatan itu semakin tak berharga setelah kondisi ekonomi negara tersebut mengalami inflasi bulanan hampir 8 miliar persen atau 98 persen sehari. Banyak orang menuding hiperinflasi di Zimbabwe karena ulah presidennya, Robert Mugabe dalam mengelola ekonomi. Salah satunya land reform.
3. Yugoslavia (1992-94)
Negara yang kini sudah bubar itu pernah mengalami inflasi rata-rata 313 juta persen per bulan sepanjang April 1992 hingga Januari 1994. Krisis politik dan ekonomi yang menimpa negara tersebut membuat harga-harga barang melonjak. Apalagi, pemerintah terus menerus mencetak uang untuk membiayai defisit anggaran sehingga inflasi tak terkendali.
4. Republik Srpska (1992-94)
Sama seperti Yugoslavia, negara yang kini pecah menjadi Bosnia dan Serbia ini juga mengalami hiperinflasi di periode yang sama. Inflasi negara itu mencapai 297 juta persen sebulan atau 64,3 persen per hari.
5. Jerman (1922-1923)
Negara manufaktur ini pernah mengalami periode terburuk usai kalah dalam Perang Dunia I, terutama dalam kurun waktu Desember-Oktober 1923. Saat itu, inflasi bulanan Jerman mencapai 29.500 persen atau 20,9 persen per hari. Kondisi ini melahirkan pemimpin populis yang terkenal membawa Jerman menuju Perang Dunia II, Adolf Hitler.
6. Yunani (1941-45)
Krisis ekonomi menimpa negara di Semenanjung Balkan ini belum genap 10 tahun lalu. Namun, Yunani pernah menghadapi krisis lebih parah sepanjang Mei 1941 hingga 1945. Saat itu, negara kelahiran para filsuf ini dianeksasi oleh Jerman Cs dan menyebabkan inflasi hingga 13.800 per bulan atau 17,9 persen per hari.
7. China (1947-49)
China sebelum era Deng Xiao Ping terkenal dengan negara miskin dengan populasi besar. Perang sipil berkepanjangan antara kubu nasionalis Chiang Kaishek dan komunis Mao Zedong pada dekade 1940-an membuat negara tersebut mengalami hiperinflasi hingga 5.070 persen setiap bulan atau 14,1 persen setiap hari.
8. Danzig (1922-23)
Negara-kota seperti Singapura ini pernah eksis di Eropa dan hanya bertahan sekitar 20 tahun saja di bawah Republik Weimar yang kini bernama Jerman. Inflasi negara tersebut mencapai 2.440 persen per bulan atau 11,4 persen per hari. Sebelum 1923, mata uang tertinggi Danzig adalah 1.000 Mark, namun pada akhir 1923 pemerintahnya mencetak uang dengan nominal tertinggi 10 miliar Mark.
9. Armenia (1993-94)
Armenia pernah mengalami hiperinflasi selama Oktober 1993-Desember 1994. Saat itu, negara yang berada di perbatasan Benua Eropa dan Asia itu baru saja berdiri menjadi negara pecahan Uni Soviet. Inflasinya bulanannya melambung hingga 438 persen atau 5,77 persen per hari.
10. Indonesia (1962-65)
Indonesia tercatat pernah mengalami hiperinflasi di akhir masa kepemimpinan Presiden Soekarno. Tingkat inflasi saat itu terus melambung. Pada 1962, inflasi tahunan mencapai 165 persen dan mencapai puncak pada 1965 saat menembus 600 persen. Saat itu, banyak uang dicetak untuk membiayai proyek-proyek mercusuar Soekarno. Langkah pemerintah melakukan pengguntingan nilai mata uang yang dikenal dengan kebijakan "Gunting Syarifuddin" juga tak berpengaruh banyak pada inflasi.
Editor: Rahmat Fiansyah