Holding Migas Diharapkan Fokus ke Produksi Minyak
JAKARTA, iNews.id - Pembentukan holding minyak dan gas bumi (migas) oleh Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dinilai terlalu terburu-buru. Bahkan aturan yang melandasinya masih bermasalah.
“Proses holding yang dilakukan pemerintah saat ini sangat terburu-buru dan meloncati pengawasan DPR, harusnya setiap pengalihan saham harus persetujuan DPR berdasarkan UU BUMN. Apalagi saat ini sedangg berlangsung revisi UU Migas di DPR," kata Pengamat Energi dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Abra Puspa Ghani Talattov di Jakarta, Rabu (10/4/2018).
Abra menilai, holding migas bukan menjadi kebutuhan. Sebab, yang mendesak dibenahi itu di sektor minyak karena produksi minyak nasional cenderung terus turun. "Holding migas akan mengincar sektor gas, padahal yang mesti dibenahi adalah di sektor minyak karena produksi minyak nasional cenderung menurun," ujar dia.
Dengan holding migas yang dipaksakan, peran PT PGN Tbk akan semakin kerdil, karena kebijakan tata kelola gas akan selalu di bawah bayang-bayang Pertamina. Padahal PGN punya peran penting.
Wakil Ketua Komisi VI DPR Inas Nasrullah Zubir mengatakan, peraturan Pemerintah (PP) Nomor 72 Tahun 2016 yang jadi dasar hukum pembentukan holding hingga kini masih dipertanyakan oleh DPR. “PP itu dianggap tidak sesuai dengan Undang-Undang (UU) Nomor 19 Tahun 2003 Tentang BUMN, UU Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, dan UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Banyak teman-teman di Komisi VI yang masih tidak setuju dengan PP tersebut,” kata Inas.
Selain menghilangkan fungsi DPR ketika akan ada pengalihan kekayaan atau aset negara dari satu BUMN ke BUMN lain, menurut Inas, ketentuan saham istimewa (golden share) yang diatur dalam PP 72 juga dipertanyakan.
“Cukup dengan satu saham istimewa (goldenshare) di perusahaan, maka perusahaan itu masih bisa dibilang sebagai BUMN dan Pemerintah berwenang penuh. Payung hukum di atasnya di mana, di UU BUMN atau UU manapun tidak ada yang mengatur seperti itu,” kata Inas.
Pada Pasal 2A ayat (1) PP Nomor 72/2016, disebutkan bahwa penyertaan modal negara yang berasal dari kekayaan negara berupa saham miik negara pada BUMN atau PT kepada BUMN atau PT lain dilakukan oleh Pemerintah Pusat tanpa melalui mekanisme APBN. Ini berarti bisa tanpa persetujuan DPR.
Padahal, UU Nomor 17/2003 mengatur bahwa perubahan kekayaan negara menjadi aset BUMN dan PT tidak dapat langsung dikerjakan oleh pemerintah karena harus dibahas dengan DPR, yakni Komisi VI dan Komisi XI.
Editor: Ranto Rajagukguk