Indef Pastikan Dampak Corona Masih Jauh dari Krisis 1998
JAKARTA, iNews.id - Pandemi virus corona telah menginfeksi lebih dari 1 juta orang di seluruh dunia. Hal tersebut membuat ekonomi di berbagai negara mengalami guncangan, tak terkecuali Indonesia.
Banyak investor global yang panik dan berdampak ke aktivitas pasar dalam negeri dan sekitar Rp168 triliun dana asing mudik dari Indonesia. Banyak pihak yang khawatir ancaman resesi ekonomi saat ini akan mengulang krisis tahun 1998.
Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Abra Talattov menjamin dampak virus corona belum membawa Indonesia ke krisis seperti pada 1998. Saat ini, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) melemah hingga 17,8 persen, masih jauh dengan krisis tahun 1998.
Saat itu, nilai tukar rupiah mengalami depresiasi hingga 120 persen. Selain itu, Indonesia dinilai masih memiliki cadangan devisa Rp130 triliun, setara dengan kemampuan impor selama 7,7 bulan, di mana standar aman internasional adalah tiga bulan impor.
“Tapi hal ini bukan berarti pemerintah harus tenang, karena ekonomi kita mengarah ke kelumpuhan. Kalau sekarang ekonomi lumpuh orang-orang tidak bisa keluar rumah, berbeda denggan dulu orang masih bisa beraktivitas,” ujar Abra dalam diskusi publik via daring Sabtu, (4/4/2020).
Komite Stabilitas Sektor Keuangan (KSSK) memperkirakan pertumbuhan ekonomi tahun ini turun menjadi 2,3 persen dan dalam kondisi sangat berat bisa minus 0,4 persen. Sementara nilai tukar rupiah bisa mencapai Rp17.500 per Ddolar AS dan skenario sangat berat Rp20.000 per dolar AS.
Untuk menekan dampak ekonomi dari penyebaran virus corona Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi COVID-19.
Melalui Perpu Nomor 1 Tahun 2020 tersebut, pemerintah mengalokasikan Rp150 triliun untuk pemulihan sektor keuangan nasional. Abra menilai situasi ini jauh berbeda dengan krisis tahun 1998, di mana pada saat itu anjloknya ratusan perusahaan, diikuti dengan kesulitan perbankan untuk menyediakan likuiditas ke nasabah sehingga menyebabkan masyarakat beramai-ramai menarik uang dari bank. Sedangkan pada saat itu cadangan devisa yang dimiliki pemerintahan periode itu hanya belasan triliun.
“Karena pemerintah menganggap situasi sekarang extraordinary situation, maka perlu extraordinary regulation juga,” ujar Abra.
Untuk itu, Abra meminta pemerintah agar bertindak cepat dalam menyusun petunjuk teknis turunan pelaksanaan Perppu tersebut.
Editor: Ranto Rajagukguk