Ini Penjelasan Sri Mulyani soal Utang Jatuh Tempo Rp800 Triliun di 2025
JAKARTA, iNews.id - Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani menjelaskan terkait pembayaran utang jatuh tempo sebesar Rp800 triliun pada 2025. Hal ini sekaligus menanggapi permintaan penjelasan dari Wakil Ketua Komisi XI DPR, Dolfie OFP perihal besaran utang tersebut.
"Tadi mendengar penjelasan Bu Menteri tadi ada profil jatuh tempo, kalau kita hitung jatuh tempo 2025 itu Rp800 triliun, 2026 Rp800 triliun, 2027 Rp802 triliun, 2028 Rp228,719 triliun, 2029 Rp662 triliun. Jadi, kalau dihitung 5 tahun ke depan itu yang jatuh tempo itu Rp3.783 triliun," ujar Dolfie dalam Rapat Kerja Komisi XI DPR, Kamis (6/6/2024).
Dalam penjelasannya, Sri Mulyani mengatakan, utang jatuh tempo yang besar pada 2025-2027 tidak menjadi masalah selama persepsi APBN dan ekonomi serta politik Indonesia tetap sama.
Dia menuturkan, jika surat utang RI tidak jatuh tempo, maka surat utang yang dipegang akan revolving. Namun, jika kondisi stabilitas terganggu, pemegang surat utang RI bisa melepasnya dan kabur dari Indonesia.
"Sehingga jatuh tempo yang terlihat di sini 2025, 2026, 2027 yang kelihatan tinggi itu tidak menjadi masalah selama persepsi terhadap APBN, kebijakan fiskal, ekonomi dan politik tetap sama," kata Sri Mulyani.
Sri Mulyani mengingatkan bahwa tingginya pembayaran jatuh tempo utang disebabkan oleh pandemi Covid-19. Saat itu Indonesia membutuhkan hampir Rp1.000 triliun tambahan belanja, saat penerimaan negara turun 19 persen karena aktivitas ekonomi berhenti.
"Jadi, kalau tahun 2020, maksimal jatuh tempo dari pandemi kita itu semuanya di 7 tahun dan sekarang konsentrasi di 3 tahun terakhir 2025, 2026 dan 2027, sebagian di 2028 tahun. Nah inilah yang kemudian menimbulkan persepsi kok banyak sekali utang numpuk," ucapnya.
Menkeu juga menegaskan hal ini karena biaya pandemi dan ini merupakan bagian dari skema burden sharing.
"Itu biaya pandemi berdasarkan agreement antara kita dan BI untuk lakukan burden sharing agar agar neraca BI baik, fiskalnya tetap kredibel, politik juga acceptable, kita sepakati instrumen itu," tuturnya.
Editor: Aditya Pratama