Jadi Lambang Sumatra Selatan, Begini Kilas Balik Pembangunan Jembatan Ampera di Atas Sungai Musi
JAKARTA, iNews.id - Jembatan Ampera merupakan salah satu jembatan ikonik yang terletak di kota Palembang, Sumatera Selatan. Jembatan yang membentang di atas Sungai Musi ini memang telah diimpikan masyarakat Palembang sejak lama. Sebelumnya, hubungan antara seberang ilir dan seberang ulu dilayani dengan memakai jasa veerpont, kapal penyeberangan yang disebut masyarakat sebagai Kapal Marie.
Dilansir dari buku 'Jalan di Indonesia dari Sabang sampai Merauke' yang disusun oleh Direktorat Jenderal Bina Marga Kementerian PUPR, Kamis (10/12/2020), pembangunan Jembatan Ampera dimulai sejak tahun 1960. Keinginan masyarakat Palembang akan keberadaan jembatan ini sudah hadir sejak dahulu. Namun, realisasi pembangunan jembatan ini mulai semakin terang pada tahun 1960, yaitu ketika pembangunannya mulai dipublikasikan.
Salah satunya, Koran Yogyakarta Kedaulatan Rakyat pada 19 Juli 1960 yang memuat berita mengenai akan dilaksanakannya pembangunan jembatan modern di atas Musi Palembang: yang bagian tengahnya dapat diangkat. Wacana mengenai pembangunan jembatan di Sungai Musi kala itu kembali mengemuka pada tahun 1960. Kunjungan Presiden Soekarno ke Palembang tanggal 3 dan 4 November 1960 juga menjadi pemicu semakin intensnya pembangunan jembatan Musi digulirkan.
Presiden Soekarno atas nama pemerintah pusat mengambil keputusan berdasarkan besarnya animo masyarakat yang menghendaki agar letak pembangunan Jembatan Musi terbentang di tengah badan Sungai Musi antara bagian ujung Jalan Tengkuruk di dermaga penyeberangan 16 Ilir pada bagian seberang ilir yang memanjang ke Jalan Sudirman dengan dermaga penyeberangan 10 Ulu di bagian seberang ulu.
Departemen Pekerjaan Umum dan Tenaga pun melakukan pemeriksaan usulan pelaksanaan pembangunan jembatan dan menetapkan bahwa jembatan akan dibangun sepanjang 344 meter dengan lebar 16 meter dan bagian tengah sepanjang 84 meter dapat dibuka secara mekanik setinggi 50 meter. Dalam kunjungannya, Presiden Soekarno kemudian memberi restu akan sebuah proyek raksasa, yaitu pembangunan jembatan di atas Sungai Musi.
Proyek Jembatan Musi dikerjakan oleh pemborong Jepang Fuji Shario, Fuji Shario Manufactur Co. Ltd yang berkedudukan di Osaka, Jepang. Fuji Shario merupakan perusahaan yang telah banyak membuat jembatan-jembatan di berbagai negara Asia. Mereka mempunyai perwakilan di Indonesia yakni Moestika Ratoe Trading Co Ltd. Fuji Shario memenangkan tender pembangunan jembatan megah tersebut dengan model ‘naik turun’ agar lalu lintas kapal laut di bawah jembatan tersebut tidak terganggu.
Masterplan jembatan tersebut sempat mereka presentasikan di Bangkok, Thailand. Pembangunan jembatan di atas sungai Musi ini dilakukan di daerah Boom Marie di 16 Ilir ke daerah Boom 7 Ulu mengakibatkan penyeberangan yang selama ini berpusat di sana dipindahkan ke Tangga Batu menuju 10 Ulu dan dari Tangga Buntung ke Kertapati. Prosesnya memakan waktu selama 41 bulan. Ketika selesai dibangun, panjang jembatan yang membelah Sungai Musi ini mencapai 1.177 meter dengan lebarnya 22 mete, serta tinggi di atas permukaan airnya 11,50 meter.
Jembatan Ampera dalam konsepsi Presiden Soekarno merupakan bagian dari membangun identitas bangsa yang berkaitan dengan konsepnya dalam mewujudkan character and national building. Pembangunannya juga menjadi mega proyek pertama di luar Jawa pada masa demokrasi terpimpin. Jembatan Ampera sebagai politik identitas Presiden Sukarno juga mengandung dua hal. Secara ideologis, jembatan ini adalah ‘senjata’ untuk menaikkan kelas sosial masyarakat Palembang dan rakyat Indonesia umumnya, untuk machtsvorming, membuat kekuasaan, meraih dan sekaligus menjalankannya.
Jembatan Ampera kemudian dilakukan pada tanggal 10 November 1965 bertepatan dengan peringatan Hari Pahlawan yang ke-20. Peresmian jembatan ini dilakukan dengan membawa semangat kepahlawanan bangsa dan diharapkan menjadi simbol pemersatu bangsa. Kehadiran Jembatan Ampera menjadi cambuk pemacu seluruh jiwa masyarakat Indonesia umumnya dan Palembang khususnya yang sebelum adanya jembatan terbagi dalam dikotomi seberang ilir dan seberang ulu. #CM
Editor: Rahmat Fiansyah