Get iNews App with new looks!
inews
Advertisement
Aa Text
Share:
Read Next : Penjelasan Pramono soal Rencana Pemindahan Patung Jenderal Sudirman di Jakarta
Advertisement . Scroll to see content

Melirik Pembangunan Jalan MH Thamrin Tahun 1960, Sang Political Venue bagi Indonesia Baru 

Selasa, 08 Desember 2020 - 11:08:00 WIB
Melirik Pembangunan Jalan MH Thamrin Tahun 1960, Sang Political Venue bagi Indonesia Baru 
Jalan M.H. Thamrin mendapatkan sentuhan ulang pada 1960-an seiring keinginan Presiden Soekarno menjadikan Jakarta sebagai ruang perwujudan ide revolusionernya. (Foto: Ist)
Advertisement . Scroll to see content

JAKARTA, iNews.id – Sejarah pembangunan jalan dan jembatan di Indonesia memang telah dimulai sejak manusia hadir di bumi ini. Hal itu karena jalan menjadi sarana lalu lintas orang yang pertama kali hadir pada masa prasejarah. Proses pembangunan jalan di Indonesia tersebut terus berlanjut hingga era kemerdekaan.

Dilansir dari buku  'Jalan di Indonesia dari Sabang sampai Merauke' yang disusun oleh Direktorat Jenderal Bina Marga Kementerian PUPR, Selasa (8/12/2020),  jalan M.H. Thamrin sempat mendapatkan sentuhan ulang pada tahun 1960-an. Adanya kebutuhan “Political Venue” bagi Republik Indonesia membuat Presiden Soekarno memilih Jakarta sebagai ruang perwujudan ide-ide revolusionernya tentang Indonesia dan cita-cita besarnya tentang kota. 

Terlebih, saat Jakarta dipercaya menjadi tuan rumah Asian Games 1962, momentum ini menjadi kesempatan menunjukkan wajah dan sikap Indonesia baru melalui Jakarta. Tidak hanya kepada seluruh rakyat Indonesia, tetapi juga kepada seluruh dunia, dan salah satu 'panggung'nya adalah Jalan M.H. Thamrin. 

Gagasan membangun Jakarta sebagai wajah dan identitas Indonesia baru ini tercantum dalam Pembangunan Nasional Semesta Berentjana 1961-1969  pada 1 Januari 1961, yang menegaskan Jakarta sebagai, ibu kota negara dengan jalan-jalan yang lebar, taman-taman yang indah, dan gedung-gedung nasional yang besar dan tinggi.

Jalan M.H. Thamrin kemudian dilebarkan menjadi 49 meter, terinspirasi dari jalan-jalan lebar di kota  kota modern dunia. Aspal jalan M.H. Thamrin juga berbeda dari aspal jalan lainnya di Jakarta, yaitu lebih berdaya tahan lama terhadap tekanan kendaraan dan air hujan. Jalan M.H. Thamrin mempunyai dua jalur untuk kendaraan menuju dan dari arah Kebayoran. 

Dua lajur jalan M.H. Thamrin ini yang satu untuk kendaraan bermotor dan berkecepatan tinggi, dan yang lainnya. untuk kendaraan lebih lambat seperti becak dan sepeda. Di tengah-tengah jalur kiri dan kanan, ada sebuah tanah rumput yang lebarnya enam meter. Selain itu, dibangun juga trotoar selebar tiga meter untuk para pejalan kaki.

Pelebaran jalan ini dibangun untuk melancarkan arus lalu-lintas dan menghindari kemacetan. Kemacetan juga dipecah melalui konstruksi jalan berupa bundaran. Di tengah bundaran itu akan dibangun dua buah patung berbentuk orang melambaikan tangan sedang menyambut para tamu dan kemudian dianggap sebagai pintu gerbang Kota Jakarta.

Tak ketinggalan, dibangunnya gedung-gedung tinggi sebagai representasi Indonesia baru yang maju. Rancangan gedung-gedung itu terdapat dalam maket tiga dimensi di Gedung Pola, Jakarta. Tiga gedung pencakar langit gagasan Soekarno adalah Hotel Indonesia, Wisma Nusantara, dan Gedung Sarinah yang dirasa memiliki nilai strategis bagi bangsa Indonesia di Jalan M. H. Thamrin semakin mengukuhkan posisi jalan itu sebagai ruang dan wajah gagasan Indonesia Baru sebagai bangsa yang merdeka.

Jalan M. H. Thamrin kemudian semakin mengalami pembangunan lebih lanjut pada masa Gubernur Henk Ngantung yang memimpin Jakarta antara tahun 1964 hingga 1965. Dalam masa pemerintahan yang relatif singkat, Henk Ngantung memoles wajah jalan ini dan menyeimbangkannya dengan pembangunan gedung-gedung bertingkat, dia juga membangun ruang terbuka hijau, tanaman, bunga, air, dan menambahkan unsur-unsur keindahan kota yang merepresentasikan nilai pembangunan mental-spiritual bangsa Indonesia. 

Henk membangun bundaran dengan air mancur cantik di depan gedung Bank Indonesia yang membuat Jalan M.H. Thamrin menjadi lebih segar. Air mancur itu kemudian diberi nama Ngantung Fountain. Pembangunan Jalan M.H. Thamrin terhenti pada September 1965. Era berganti dan kekuasaan Presiden Soekarno berakhir digantikan oleh Orde Baru. Soeharto menjadi presiden dan mengubah arah kebijakan pembangunan di Jalan M.H. Thamrin. Presiden Soeharto meneruskan pembangunan gedung-gedung pencakar langit di Jalan M. H. Thamrin, namun bukan sebagai simbol revolusi Indonesia, melainkan alat investasi ekonomi.

Hingga akhirnya, pada masa pemerintahan Gubernur Ali Sadikin antara tahun 1966 hingga 1977, jalan M. H. Thamrin tetap diupayakan memiliki jiwa kerakyatan di tengah semakin lajunya pembangunan investasi ekonomi di kawasan ini. Agar ramah para pejalan kaki, Gubernur Ali Sadikin mengecat ulang zebra cross di setiap persimpangan, menyediakan alat bantu penyeberangan berupa tongkat dengan tulisan ‘STOP’, dan lampu kedip (flicker lights). 

Tak hanya itu, dirinya juga membangun Jembatan Penyeberangan Orang (JPO) di depan Sarinah yang kemudian menjadi JPO pertama di Indonesia. Ratusan warga menjajalnya pada hari pertama peresmian, 21 April 1968. Jalan M.H. Thamrin benar-benar menjadi milik rakyat pada Juni 1968 ketika Gubernur Ali Sadikin menutup jalan ini dari kendaraan dan membukanya bagi rakyat untuk merayakan ulang tahun Jakarta. Dia mengundang para pedagang kecil, penarik becak, para seniman dan musisi, dan pejalan kaki untuk bersama-sama memenuhi jalan ini dan merayakannya sebagai jalan semua rakyat Jakarta dan Indonesia.

Editor: Rahmat Fiansyah

Follow WhatsApp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut