Pemerintah Diminta Segera Perbaiki Kinerja PLN
JAKARTA, iNews.id - Serikat Pekerja (SP) PT PLN (Persero) mendesak pemerintah turun tangan dalam memperbaiki kinerja perusahaan pelat merah sektor setrum ini. Pasalnya, dalam beberapa tahun terakhir kebijakan yang digulirkan manajemen justru membuat PLN tak optimal.
Ketua Umum SP PLN Jumadis Abda memaparkan, salah satu bentuk kebijakan yang merugikan, yakni take or pay untuk program 35.000 megawatt (MW). Kebijakan itu tetap dilanjutkan meski pasokan listriki kini sudah surplus.
“Padahal biaya operasional PLN mencapai ratusan triliun. Sementara akibat pasokan yang berlebihan dan skema take or pay diberlakukan maka kelebihan pasokan tersebut tetap harus dibayar oleh PLN,” kata Jumadis dalam keterangan tertulisnya, Rabu (6/12/20180.
Dengan kondisi ini secara otomatis akan menggerus keuangan PLN. Terbukti hingga triwulan III-2018 lalu kerugian yang dialami PLN mencapai Rp18,48 triliun. Diyakini kerugian PLN akan semakin membengkak hingga akhir tahun ini lantaran tidak ada kenaikan tarif listrik.
Bahkan Menteri Keuangan Sri Mulyani pada September 2017 telah mengingatkan agar PLN berhati-hati dalam mengelola keuangan. Namun, manajemen tetap mengeksekusi kebijakan sehingga kini keuangan perusahaan juga sudah cukup mengkhawatirkan.
"Kami sangat mengkhawatirkan kondisi PLN ini, namun sejak lama kita suarakan tapi tetap saja. PLN semakin terpuruk serta menderita kerugian besar. Jangan berlarut-larut sebab ke depan akan membebani masyarakat," kata Jumadis.
Lebih lanjut Jumadis juga menilai, dominasi swasta dalam proyek-proyek infrastruktur ketenagalistrikan 35.000 MW perlu dievaluasi. Apalagi, kebutuhan riil pasokan listrik yang sesuai hitungan hanya sekitar 20.000 MW.
Artinya PLN harus menanggung kelebihan produksi dari swasta tersebut yang dibayar dalam mata uang dolar Amerika Serikat (AS). Parahnya lagi, akibat penggunaan dolar AS yang berlebihan membuat nilai tukar rupiah semakin terpuruk dan mendorong defisit transaksi berjalan semakin melebar.
"Apa yang kita sampaikan sebelumnya sekarang udah terlihat dan terbukti, kondisi keuangan PLN semakin tidak menentu. Kalau waktu itu kita didengar mungkin keadaannya tidak seperti ini," kata dia.
SP PLN juga mengkritisi kebijakan PLN yang tidak menjalankan kesepakatan perjanjian kerja bersama (PKB) terutama terkait dengan hubungan industrial dengan pekerjanya. PKB yang tak dijalankan antara lain masa pensiun 56 tahun yang kini diubah menjadi 46 tahun. Selain itu, adanya kebijakan yang memungkinkan direksi dapat melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) sewaktu-waktu tanpa mengikuti ketentuan yang berlaku.
"Mudah-mudahan kita tidak sampai jadi mogok kerja karena itu akan merugikan masyarakat juga. Tapi kalau seandainya hal ini tidak diindahkan juga ya kami akan gunakan hak kami yang dilindungi Undang-Undang untuk mogok kerja tujuh hari," tuturnya.
Editor: Ranto Rajagukguk