Cekcok Gubernur Bobby dan Komisi II DPR Memanas dalam Rapat Resmi
MEDAN, iNews.id - Suasana rapat antara Komisi II DPR RI dan Pemerintah Provinsi Sumatera Utara memanas. Perdebatan sengit terjadi dalam forum yang seharusnya membahas berbagai isu strategis daerah.
Anggota DPR dari Fraksi PDI Perjuangan, Deddy Yevri Hanteru Sitorus menyampaikan bahwa tanah adalah hak asasi.
“Bapak-bapak, saya ini... minta, tapi tolong nanti Pak Pimpinan kita agendakan lagi untuk bicara hal ini. Nah, saya mau mulai, Bapak Ibu, dengan mengatakan: Tanah adalah kehidupan. Tanah adalah hak asasi. Kalau dari sana kita memandangnya, kita enggak main-main soal ini. Enggak boleh main-main,” kata Deddy.
Rapat yang semula berlangsung kondusif, mendadak berubah panas saat pembahasan menyentuh isu strategis, termasuk soal status tanah Hak Guna Usaha (HGU) PTPN 2. Rapat tersebut berlangsung di Kantor Gubernur Sumatera Utara, Jalan Pangeran Diponegoro, Medan.
Sorotan utama tertuju pada Gubernur Sumatera Utara, Bobby Nasution, yang dinilai terlalu emosional oleh anggota DPR dari Fraksi PDI Perjuangan, Deddy Yevri Hanteru Sitorus, saat membahas keberadaan tanah HGU milik PTPN 2 di wilayah Sumut.
Pernyataan Deddy memantik respons keras dari Bobby Nasution yang juga merupakan menantu Presiden Joko Widodo. Ia merespons dengan ketus dan bahkan sempat mengancam akan meninggalkan ruang rapat.
Deddy Sitorus menegaskan bahwa dirinya hadir sebagai anggota DPR yang mewakili suara rakyat, bukan untuk menolak aspirasi pemerintah daerah.
“Terus gubernurnya bilang, ‘Ya udah, kami keluar aja, kepala daerah. Kalau enggak mau dibicarakan, ya enggak usah dengar lah,’” ujar Deddy menirukan ucapan Bobby.
“Saya bilang, ‘Gubernur kok baperan.’ Anda mau benturkan saya sama kepala daerah. Padahal ucapan saya jelas, kok.”
“Enggak diterima beliau, Bang. Ya... enggak diterima gitu ya, ya enggak nyambung. Lah, kita ngomongin yang satu, dia ngomong yang lain,” tambahnya.
“Kita omongkan, ‘Ini bukan waktunya, banyak pihak terlibat.’ Tapi dia bilang, ‘Oh, ini kami enggak mau didengar, kan?’ Ya sudah... itu enggak nyambung.”
Editor: Komaruddin Bagja