Tragedi Penggusuran Makam Mbah Priok: Bentrokan Berdarah yang Masih Menyisakan Luka Sejarah
JAKARTA, iNews.id - Rabu, 14 April 2010, kawasan makam Mbah Priok di Koja, Jakarta Utara, menjadi saksi salah satu tragedi paling kelam dalam sejarah penertiban lahan di Indonesia. Ribuan warga bentrok dengan aparat gabungan saat proses eksekusi bangunan liar di sekitar makam yang diklaim milik PT Pelindo II.
Ketegangan meningkat tajam ketika alat berat tiba di lokasi. Massa yang sejak pagi telah berkumpul menolak penggusuran, mulai menyerang petugas. Tiga anggota Satpol PP tewas dalam insiden tersebut, sementara lebih dari 200 orang mengalami luka-luka, termasuk anggota polisi, warga, dan jurnalis.
Sebuah mobil water canon dan beberapa kendaraan hangus dibakar. Petugas berusaha berlindung ke terminal peti kemas Koja, namun tidak semua berhasil menyelamatkan diri. Salah satu jenazah petugas bahkan baru dievakuasi pada malam hari.
Konflik ini berakar dari sengketa lahan antara ahli waris Mbah Priok dan PT Pelindo II. Ahli waris mengklaim kepemilikan atas tanah seluas 5,4 hektare berdasarkan dokumen zaman Belanda. Sementara Pelindo II mengantongi HPL (Hak Pengelolaan Lahan) atas area seluas 145,2 hektare, termasuk kawasan makam.
Upaya eksekusi didasarkan pada putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara tahun 2002 yang menyatakan lahan tersebut sah milik Pelindo. Namun eksekusi selalu mendapat perlawanan dari ahli waris dan masyarakat.
Pemprov DKI saat itu menyatakan hanya akan menertibkan bangunan liar, bukan membongkar makam. Namun isu liar tentang rencana pembongkaran makam demi proyek tol akses Tanjung Priok memicu kemarahan warga.
Tragedi ini menjadi perhatian nasional. DPRD DKI Jakarta mendesak Komnas HAM melakukan investigasi atas dugaan pelanggaran HAM. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kala itu meminta penghentian sementara eksekusi dan mendorong dialog antara Pemprov dan ahli waris.