JAKARTA, iNews.id – Dua dekade setelah penandatanganan Perjanjian Damai Helsinki, Aceh menjadi contoh nyata bahwa kepercayaan dan komitmen bersama mampu mengakhiri konflik panjang. Refleksi ini mengemuka dalam forum yang digelar Economic Research Institute for ASEAN and East Asia (ERIA) melalui ERIA School of Government (SoG) di Jakarta, 13–15 Agustus 2025, dengan menghadirkan tokoh-tokoh penting yang terlibat langsung dalam proses damai.
Negosiasi menuju kesepakatan 15 Agustus 2005 sempat terhenti usai pertemuan di Tokyo. Namun bencana tsunami 2004 mengubah arah sejarah, memaksa semua pihak kembali ke meja perundingan di Helsinki. Dean ERIA SoG, Prof. Nobuhiro Aizawa, menyebut peristiwa itu sebagai momentum berharga. “Para pemimpin dan rakyat Aceh berhasil mengubah tragedi menjadi komitmen bersama. Perdamaian yang terjaga selama dua dekade ini adalah hasil kerja sama global yang patut dipelajari,” ujarnya.
Presiden ERIA, Tetsuya Watanabe, menegaskan kisah Aceh membawa pesan kuat bagi wilayah yang masih dilanda konflik. “Aceh menunjukkan perdamaian tetap mungkin, bahkan setelah hilangnya kepercayaan selama bertahun-tahun. Tanpa perdamaian, tak ada pembangunan. Perdamaian adalah pondasi semua kemajuan,” katanya. Mantan Wakil Presiden RI, Jusuf Kalla, menambahkan, “Perundingan adalah satu-satunya jalan. Helsinki menjadi titik balik untuk membangun masa depan Aceh di atas damai.”
Wali Nanggroe Aceh, Tgk. Malik Mahmud Al Haythar, mengingatkan pentingnya menjaga warisan ini. “Perdamaian sejati lahir bukan dari menang atau kalah, tetapi dari keberanian memahami dan menghargai satu sama lain. Dua puluh tahun sudah kita jaga, kini tugas kita memastikan dua puluh tahun berikutnya tetap damai dan lebih sejahtera,” pesannya. ERIA berharap pengalaman Aceh menjadi inspirasi penyelesaian damai di berbagai daerah lain, khususnya di Asia Tenggara.
Editor: Yudistiro Pranoto