5 Fakta Pengadilan AS Batalkan Tarif Trump, Alasan hingga Dampaknya
WASHINGTON, iNews.id - Keputusan mengejutkan datang dari Pengadilan Perdagangan Internasional Amerika Serikat (CIT) yang membatalkan sejumlah kebijakan tarif impor Presiden Donald Trump.
Putusan ini memicu perdebatan baru soal batas kewenangan Presiden dalam menetapkan kebijakan perdagangan sepihak.
Trump pada awal April lalu mengumumkan pemberlakuan tarif Liberation Day terhadap banyak negara di dunia. Pada awalnya kebijakan ini diberlakukan terhadap Kanada, Meksiko, dan China, namun berkembang menjadi banyak negara.
Panel tiga hakim menyatakan bahwa Presiden Trump melampaui kewenangannya dengan menerapkan tarif secara luas terhadap negara-negara mitra dagang tanpa persetujuan Kongres.
Pengadilan menegaskan hanya Kongres yang memiliki hak untuk menetapkan kebijakan perdagangan internasional secara konstitusional.
"Penerapan tersebut tidak diperbolehkan, bukan karena tidak bijaksana atau tidak efektif, tetapi karena hukum federal tidak mengizinkannya," demikian bunyi putusan Pengadilan Perdagangan Internasional yang berpusat di Manhattan, New York.
Pengadilan membatalkan tarif tinggi yang diberlakukan Trump terhadap produk-produk dari China (30%), Meksiko dan Kanada (25%), serta tarif universal 10% untuk sebagian besar barang impor.
Tarif-tarif ini diterapkan Trump lewat UU International Emergency Economic Powers Act (IEEPA), yang dianggap tidak relevan untuk penetapan tarif.
Namun, tarif terhadap mobil, baja, dan aluminium tetap berlaku karena didasarkan pada UU berbeda, yakni Pasal 232 Undang-Undang Perluasan Perdagangan.
Gugatan ini dimenangkan oleh kelompok advokasi hukum Liberty Justice Center, yang mewakili VOS Selections (importir wine) dan empat pelaku usaha kecil. Mereka menggugat karena merasa dirugikan secara ekonomi akibat tarif impor yang terlalu tinggi.
"Kami menang! Putusan ini adalah kemenangan untuk pelaku usaha kecil dan konsumen," kata pengacara penggugat, Ilya Somin.
Pemerintahan Trump tidak tinggal diam. Mereka segera mengajukan banding ke Pengadilan Banding Federal di Washington DC. Jika gagal, pemerintah masih bisa melakukan perlawanan hingga ke Mahkamah Agung AS.
Pemerintah juga mempertanyakan kewenangan CIT dalam menangani perkara ini.
Putusan ini merupakan pukulan bagi strategi perang dagang Trump yang selama ini menjadi ciri khas kebijakan ekonominya. Meski sebelumnya Trump menyatakan defisit perdagangan sebagai keadaan darurat nasional, pengadilan menilai bahwa deklarasi darurat tersebut tidak cukup kuat untuk melangkahi otoritas Kongres dalam hal perdagangan.
Putusan ini tak hanya menjadi kemenangan bagi pelaku usaha, tapi juga menandai pergeseran penting dalam batas kekuasaan presiden AS. Kebijakan ekonomi sepihak yang selama ini diandalkan Trump kini menghadapi tantangan hukum serius, membuka ruang bagi debat lanjutan soal peran legislatif dalam menjaga keseimbangan kekuasaan ekonomi negara.
Editor: Anton Suhartono