Anggota DPR AS Kutuk Kebijakan Trump Larang Masuk Warga Palestina: Kejam!
WASHINGTON, iNews.id - Kebijakan Presiden Amerika Serikat Donald Trump yang melarang masuk warga Palestina dan Suriah ke AS menuai kecaman keras. Salah satu kritik paling lantang datang dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) AS Rashida Tlaib, politisi Muslimah dari Partai Demokrat, yang menyebut kebijakan tersebut sebagai tindakan kejam dan rasis.
Trump, Selasa (16/12/2025), menandatangani instruksi presiden yang memperluas larangan masuk bagi warga dari enam wilayah, yakni Palestina, Burkina Faso, Mali, Niger, Sudan Selatan, dan Suriah. Sebelumnya, pemerintahan Trump telah memberlakukan larangan serupa terhadap warga dari 12 negara lain.
Dalam instruksi tersebut, Palestina bahkan tidak disebut sebagai negara. Pemerintah AS hanya mengategorikan “Dokumen Otoritas Palestina” sebagai dasar perjalanan, mengingat Washington tidak mengakui Palestina sebagai negara berdaulat. Warga Palestina yang bepergian dengan dokumen yang dikeluarkan atau disetujui Otoritas Palestina (PA) dinilai tidak dapat melalui proses pemeriksaan dan penyaringan secara memadai.
Gedung Putih berdalih, kebijakan itu diambil demi alasan keamanan nasional. AS menuding keberadaan kelompok teroris yang beroperasi aktif di Tepi Barat dan Jalur Gaza, serta kondisi perang yang disebut mengganggu proses verifikasi identitas pelancong.
Namun alasan tersebut ditentang keras oleh Rashida Tlaib. Perempuan keturunan Palestina itu menuding Trump dan orang-orang terdekatnya, termasuk Stephen Miller, sengaja menggunakan kebijakan imigrasi untuk tujuan politik dan demografis.
“Kekejaman rasis pemerintahan ini tidak mengenal batas. Mereka memperluas larangan perjalanan ke lebih banyak negara Afrika dan negara mayoritas Muslim, bahkan menutup pintu bagi warga Palestina yang melarikan diri dari genosida,” kata Tlaib, dalam unggahan di media sosial.
Kebijakan larangan masuk ini diberlakukan beberapa pekan setelah penembakan terhadap dua personel Garda Nasional AS di Washington DC, yang menewaskan satu orang. Insiden tersebut dijadikan dasar Trump untuk menerapkan “jeda permanen” terhadap warga dari negara-negara dunia ketiga.
Editor: Anton Suhartono