AS Tahan Bantuan Rp854 Miliar untuk Pengungsi Palestina
WASHINGTON, iNews.id – Amerika Serikat menahan bantuan sebesar USD65 juta atau sekitar Rp854 miliar yang disalurkan melalui badan PBB yang menangani pengungsi Palestina (UNRWA).
Namun Kementerian Luar Negeri (Kemlu) AS menepis ditahannya bantuan ini sebagai bentuk tekanan kepada para pemimpin Palestina yang tak mau melanjutkan perjanjian damai dengan Israel di bawah mediasi AS. AS ingin mengajak negara lain untuk ikut membantu para pengungsi melalui UNRWA.
"Ini bukan ditujukan untuk menekan siapa pun. Pemerintah AS dan pemerintahan Trump yakin harus ada apa yang disebut dengan berbagi beban," kata Juru Bicara Kemlu AS, Heather Nauert, dikutip dari AFP, Rabu (17/1/2018).
Menurut dia, negara lain, terutama yang mengkritik AS dalam hal kebijakan terhadap Palestina, harus ikut berperan.
Kemlu menegaskan, dana USD60 juta tetap akan disalurkan untuk membantu kelangsungan operasional UNRWA. Sebelumnya, AS berkomitmen menggelontorkan dana total USD125 juta untuk tahun 2018, namun lebih dari setengahnya ditahan.
Kepala UNRWA Pierre Krahenbuhl langsung memberikan reaksi atas keputusan AS ini. Dia mengajak negara-negara anggota PBB lainnya untuk berkontribusi.
Menurut dia, dana USD60 juta hanya cukup untuk menutup biaya operasional sekolah dan rumah sakit. Sekalipun AS mencabut USD65 juta yang ditahan itu, maka total jumlahnya pun masih jauh di bawah dana yang digelontorkan pada 2017 yakni mencapai USD350 juta.
Hubungan AS dan UNRWA, lanjut dia, sudah terjalin cukup lama. Namun pemangkasan dan penahanan dana bantuan ini bisa mengancam kelangsungan proyek kemanusiaan paling sukses di Timur Tengah.
Sebelumnya, melalui cuitan di Twiiter, Trump mengancam akan mencabut bantuan bagi Palestina melalui UNRWA. Alasannya, Palestina menolak melanjutkan perjanjian damai dengan Israel di bawah mediasi AS.
Dia menyebut bantuan ratusan juta dolar yang sudah digelontorkan setiap tahun tidak dibalas dengan rasa hormat. Namun pernyataan itu dibalas oleh Presiden Palestina Mahmoud Abbas dengan menyebut bahwa Yerusalem tidak bisa dibeli dengan emas dan dolar.
Editor: Anton Suhartono