Bukan Cuma di Indonesia, Ratusan Juta Anak di Seluruh Dunia Kesulitan Belajar Online
JAKARTA, iNews.id - Pandemi Covid-19 berdampak pada terganggunya kegiatan belajar mengajar di sekolah. Penerapan pembelajaran jarak jauh (PJJ) nyatanya belum bisa dinikmati oleh ratusan juta anak-anak di seluruh dunia.
Wabah Covid-19 yang menyebar cepat sejak Januari lalu, memaksa banyak negara memberlakukan kebijakan penguncian wilayah (lockdown) sebagai upaya memutus mata rantai penularan. Langkah tersebut diikuti dengan penutupan pusat-pusat bisnis, pusat perbelanjaan, perkantoran, dan sekolah.
Agar proses belajar mengajar tetap bisa berjalan selama anak-anak berada di rumah--menjalani lockdown--banyak sekolah maupun perguruan tinggi yang memberalakukan format belajar via daring. Alih-alih sebagai solusi, format tersebut sebaliknya justru melahirkan problematika baru bagi mereka yang tidak memiliki fasilitas memadai untuk belajar online seperti smartphone dan jaringan sinyal yang kuat untuk mengakses aplikasi.
Berdasarkan laporan yang dirilis badan PBB yang mengurusi anak-anak dan pendidikan (UNICEF) diperkirakan 463 juta anak mengalami kesulitan mengikuti pembelajaran via daring (online). Mayoritas penyebabnya tidak memiliki perangkat eletronik yang memadai sampai kesulitan akses internet.
"Banyak anak-anak yang pendidikannya benar-benar terganggu selama berbulan-bulan merupakan keadaan darurat pendidikan global," kata Henrietta Fore, Direktur Eksekutif Dana Anak PBB dikutip dari AFP, Kamis (27/8/2020).
Henrietta mengkhawatirkan jika situasi pandemi berlangsung dalam waktu lama, maka pendidikan menjadi salah satu aktivitas yang akan sangat terdampak, selain ekonomi. Dampak jangka panjangnya berpotensi menurunkan angka literasi serta tingkat edukasi di negara-negara berkembang.
"Dampaknya bisa dirasakan pada keadaan ekonomi dan masyarakat selama beberapa dekade mendatang," lanjutnya.
PBB memperkirakan 1.5 miliar anak di seluruh dunia terdampak oleh kebijakan lockdown atau penutupan sekolah yang disebabkan pandemi.
Laporan PBB memperlihatkan jurang pemisah yang lebar terlihat pada akses anak-anak mengikuti pendidikan jarak jauh, dimana negara-negara di Eropa sangat sedikit sekali terdampak dibandingkan negara-negara di Afrika atau sebagian Asia.
Di antara siswa di seluruh dunia yang tidak dapat mengakses pendidikan virtual di seluruh dunia sebanyak 67 juta berada di Afrika bagian timur dan selatan, 54 juta di Afrika bagian barat dan tengah, 80 juta di negara-negara kawasan Pasifik dan Asia timur, 37 juta di Timur Tengah dan Afrik Uatara, 147 juta di Asia Selatan, dan 13 juta di Amerika Latin dan Karibia.
Data tersebut diperoleh dari sekitar 100 negara dengan mengukur akses publik ke internet, televisi, dan radio.
Bahkan, anak-anak dengan akses yang memadai masih mungkin menghadapi kendala lain untuk mengikuti pendidikan jarak jauh, apakah kurangnya ruang belajar yang baik di rumah, tekanan untuk melakukan pekerjaan lain untuk keluarga, atau kurangnya dukungan teknis saat masalah perangkat muncul.
Di Indonesia, format belajar online yang telah digagas Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) sejak Mei lalu menuai polemik. Permasalahannya adalah tidak semua siswa sekolah di wilayah terpencil memiliki akses jaringan internet yang cukup bagus.
Masalah lainnya, kesenjangan ekonomi disebabkan pemutusan hubungan kerja (PHK) akibat banyak perusahaan yang kolaps menyebabkan banyak orang tua murid tak punya cukup uang untuk membelikan perangkat gawai dengan spesifikasi tertentu. Walhasil, tak sedikit anak usia sekolah harus banting tulang untuk mengumpulkan uang guna membeli smartphone.
Sementara itu, rencana pembukaan kembali sekolah masih belum menemukan pola ideal di tengah masih tingginya angka penularan Covid-19 di Indonesia maupun dunia.
Editor: Arif Budiwinarto