Cerita Getir Ayah 6 Anak di Gaza Berlindung dari Serangan Brutal Israel
YERUSALEM, iNews.id - Seorang ayah dari enam anak bercerita masa-masa paling sulit yang dialaminya. Dia hidup dalam ketakutan atas keselamatan anaknya karena serangan Israel yang terus dilakukan sejak pekan lalu.
Refaat Alareer (44) merupakan seorang profesor yang bekerja di Universitas Islam Gaza. Serangan bom yang terus-menerusberdampak besar anak-anaknya.
Melansir dari Bussines Insider, Sabtu (14/10/2023), Israel telah menjatuhkan ratusan ton bom ke wilayah Palestina, meratakan masjid dan lingkungan serta menggusur ratusan ribu penduduk.
"Anak-anak yang paling sering mengalami dampak dari serangan bom," kata Alareer, yang dua anak bungsunya berusia 7 dan 11 tahun.
Trauma yang dirasakan anaknya berlangsung bertahap. Pertama, dimulai dengan rasa takut dan teriakan serta tangisan anak-anak setiap kali mereka mendengar suara ledakan.
Suara ledakan tidak pernah berhenti, dan selama dua hari pertama hampir tidak ada anaknya yang tidur.
"Bahkan saat Anda tidur, Anda terbangun oleh serangkaian bom lain dengan rumah, bangunan, seluruh bangunan bergoyang," katanya.
Alareer mengatakan setelah anak-anaknya terbiasa dengan rasa takut, mentalitas mereka berubah. Mereka menjadi sedikit tumpul dan acuh tak acuh. Semua anaknya kini terlihat pasrah.
"Apakah ini perang?" "Apakah orang ini atau orang itu akan baik-baik saja?" kata Alareer menirukan pertanyaan anaknya.
Dia melihat anaknya kehilangan keceriaan untuk bermain. Mereka paling sering akan duduk di sudut rumah.
Anak-anak Alareer yang lebih besar berusia 14, 17, 20, dan 21 tahun. Keenam anak mereka, bersama dengan Alareer dan istrinya, telah tinggal di apartemen mereka di Kota Gaza sejak perang dimulai. Anak-anak termuda tidak diizinkan untuk keluar.
Meski demikian, dia melihat keindahan dalam rasa solidaritas yang kuat di kalangan orang Palestina saat perang. Meskipun pasokan makanan dan air semakin berkurang, ia tidak pernah melihat siapa pun yang menimbun atau mengumpulkan lebih banyak makanan dari yang mereka butuhkan.
"Jadi setidaknya kami menderita dengan setara," ujar Alareer.
Sebelumnya, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu telah menyatakan blokade total Jalur Gaza, termasuk memutuskan akses wilayah Palestina ke listrik, makanan, air, dan persediaan medis.
Satu-satunya penyeberangan tempat warga sipil bisa melarikan diri dari Gaza juga telah ditutup, menjebak sekitar 2,3 juta warga Palestina.
Warga lain, Abu Artema mengatakan bahwa dia telah terpisah dari keluarganya sejak perang dimulai karena terlalu berbahaya untuk mengemudi untuk menemui mereka, terutama dengan listrik dan internet yang hampir tidak ada.
Dia mengatakan bahwa dia tidak tahu bagaimana perasaan ketika setiap jam dia melihat korban sipil berjatuhan.
Editor: Muhammad Fida Ul Haq